KEPEMIMPINAN TRANSENDENTAL: MEWARISKAN INTEGRITAS DI ATAS KEPENTINGAN POLITIK

KEPEMIMPINAN TRANSENDENTAL: MEWARISKAN INTEGRITAS DI ATAS KEPENTINGAN POLITIK

Oleh: Duski Samad
Ketua Senat UIN Imam Bonjol

 

Topik artikel hadir ketika pikiran penulis berkelebat saat menerima kiriman photo pelantikan Rektor UIN Imam Bonjol sore hari Kamis, 31 Juli 2025 setelah menunggu 3 hari perpanjangan Rektor yang berakhir masanya 28 Juli 2025.

Sebagai pembelajar dalam mata kuliah Tasawuf rasanya wajar saja bacaan penulis bergerak menuju alam sipritualitualitas. Dilantiknya Prof.Dr.Hj. Martin Kustati, M.Pd adalah pilihan terbaik sang pemilik hidup, Allah subhanahuwata’ala wajib disyukuri dan itulah yang terbaik.

KEPEMIMPINAN TRANCENDENTAL

Kepemimpinan Transendental adalah kepemimpinan yang berakar pada nilai-nilai spiritual, moral, dan kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan, bukan sekadar pencapaian kekuasaan atau keberhasilan duniawi.

Kepemimpinan ini melampaui (transcend) kepentingan pribadi, kelompok, dan politik, dengan orientasi utama pada kemaslahatan umat dan keridhaan Ilahi. Dalam konteks UIN Imam Bonjol tentu kepemimpinan tercendental yang focus pada pemajuan civitas akademika dan pencapaian UIN menuju kampus unggul berkelas internasional.

Penjelasan Esensial kepemimpinan trancendental yang
berbasis tauhid dan amanah.
Kepemimpinan transendental bersumber dari keyakinan bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah, bukan hak mutlak manusia. Pemimpin adalah khalifah (wakil) yang bertanggung jawab kepada Tuhan dan umat.”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari-Muslim).

Menjunjung Integritas dan Moralitas.Esensinya adalah kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan akhlak mulia. Pemimpin transendental tidak tergoda oleh popularitas, kekayaan, atau kekuasaan, tetapi teguh pada prinsip dan etika.

Berorientasi pada kemaslahatan dan pelayanan. Kepemimpinan transendental menempatkan kepentingan bersama dan warga yang dipimpinnya di atas kepentingan diri, menjadikan pelayanan sebagai ibadah, dan bekerja dengan empati dan kasih sayang (rahmah).

Mengandung dimensi ruhaniyah dan akhirat. Pemimpin menyadari bahwa segala tindakannya dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban, sehingga setiap keputusan dan kebijakan ditempuh dengan kehati-hatian dan niat lillah (karena Allah).

Melampaui pragmatisme politik.
Ia tidak tunduk pada kekuatan politik pragmatis, tidak bertransaksi dengan kebenaran, dan tidak menjadikan jabatan sebagai tujuan, tetapi sebagai sarana untuk menebar kebaikan dan keadilan.

Esensi kepemimpinan transendental adalah bentuk kepemimpinan spiritual yang menjadikan Tuhan sebagai pusat orientasi, integritas sebagai fondasi, dan pelayanan kepada umat sebagai misi utama.”

Kepemimpinan transendental menempatkan nilai-nilai spiritual dan akhlak sebagai dasar utama dalam menjalankan amanah publik.

Dalam konteks krisis integritas dan dominasi kepentingan politik pragmatis, pendekatan transendental menjadi keniscayaan untuk melahirkan pemimpin yang jujur, adil, dan visioner.

PENDEKATAN TRANCENDENTAL
Bangsa dan umat sedang menghadapi krisiskepemimpinan. Banyak pemimpin terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek yang mengorbankan nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab publik. Dalam situasi ini, dibutuhkan pendekatan baru—yakni kepemimpinan transendental, yang memosisikan Tuhan, moral, dan nilai-nilai spiritual sebagai pusat orientasi kekuasaan.

Konsep kepemimpinan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab spiritual dan pertanggungjawaban akhirat:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…”(QS. An-Nisa: 58)
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpi nannya.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat mencapai kepentingan diri atau kelompok.

Konsep al-Imamah al-‘Uzhma
Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyyah menyatakan bahwa imamah didirikan untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.
Dengan demikian, pemimpin adalah penerus fungsi kenabian dalam hal moral dan pelayanan publik, bukan sekadar pejabat administratif.

Integritas Pondasi Kepemimpinan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya No. 7 Tahun 2005 menyatakan: “Kepemimpinan dalam Islam harus mengedepankan prinsip amanah, adil, shiddiq, tabligh, fathanah, dan menghindari segala bentuk penipuan, manipulasi dan korupsi.”
Integritas merupakan pilar utama dan kepemimpinan yang kehilangan integritas tergolong khiyanah.

Ulama klasik dan kontemporer di antaranya Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut, rusaknya umat adalah karena rusaknya pemimpin. Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh Daulah menekankan bahwa negara yang adil hanya bisa tegak dengan pemimpin bertaqwa, bukan politisi rakus.

Dimensi Transendental dalam Kepemimpinan.

Kepemimpinan transendental sebagai paradigma baru. Menurut Suryopratomo (2020), kepemimpinan transendental memiliki tiga karakter utama yakni

(1). Tuhan sebagai pusat (theocentric leadership);
(2).Nilai sebagai pedoman (value-based leadership) dan
(3). Pelayanan sebagai misi (servant leadership).

Kepemimpinan semacam ini melampaui sekat ideologi dan kepentingan politik, karena berbasis spiritualitas dan kebermaknaan hidup (Frankl, 1946).

Model Integratif: Islamik-Profetik. Menurut Nurcholish Madjid, pemimpin ideal adalah:
“Orang yang menyadari bahwa kekuasaan adalah amanah dari Tuhan, yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan umat.” Model ini memadukan dimensi profetik, etika Islam, dan kemampuan manajerial modern.

Menjaga Integritas di Tengah Tekanan Politik

Tantangan yang tak mudah menghadapi nya banyak di antaranya intervensi kekuatan politik; Transaksionalisme jabatan; Budaya nepotisme dan oligarki.

Solusi transendental yang mesti diingatkan adalah
menanamkan murāqabah (kesadaran diawasi Allah);
Menghindari riya’ dan ujub dalam jabatan; Mengambil teladan dari Nabi Muhammad SAW dan para khulafaur rasyidin.

Warisan Terbaik: Integritas, Bukan Jabatan. “Sesungguhnya sebaik-baik warisan seorang pemimpin bukanlah jabatan atau harta, tetapi jejak integritas dan kebermanfaatan.”(Inspirasi dari QS. Maryam: 76)

Pemimpin sejati adalah pewaris nilai, bukan pemegang kekuasaan semata. Mereka dikenang karena keadilan, bukan kelicikan.

Ulasan Kritis.

1.Spiritualitas sebagai Poros Kepemimpinan.

Tulisan ini menghadirkan pemikiran mendalam tentang pentingnya spiritualitas dalam kepemimpinan, khususnya di lingkungan akademik seperti UIN Imam Bonjol. Inspirasi penulis yang lahir dari momen pelantikan Rektor menegaskan bahwa kekuasaan bukan sekadar prosedur administratif, tetapi sarat dengan nilai transendental—yakni hubungan vertikal antara pemimpin dan Tuhan.

2.Pondasi Teologis dan Nalar Kepemimpinan.

Penulis secara sistematis menegaskan kekuasaan adalah amanah, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa: 58 dan hadits Nabi Muhammad SAW tentang pertanggungjawaban pemimpin. Dukungan terhadap ini diperkuat dengan pandangan al-Mawardi tentang al-Imamah al-‘Uzhma yang menyebut bahwa pemimpin adalah penerus fungsi kenabian (khilafah nabawiyah).

3.Integritas Sebagai Warisan Terbaik.

Penegasan bahwa jabatan bukan tujuan, tetapi sarana menebar nilai dan maslahat, menjadikan tulisan ini sarat nilai etik. Ketika dunia politik sering terjebak pada pragmatisme kekuasaan, penulis mengajak kembali pada nilai-nilai abadi: jujur, adil, dan bertanggung jawab.
Pandangan Imam Ghazali dan Yusuf al-Qaradawi memperkuat bahwa kerusakan pemimpin akan menghancurkan umat. Maka pemimpin bukan hanya bertugas secara struktural, tapi juga harus hadir sebagai murabbi (pendidik), ra’in (pengayom), dan syaahid (penanggung jawab moral dan spiritual).

4.Dimensi Akademik dan Kontekstual.

Artikel ini juga berpijak pada kajian kontemporer. Pemikiran Suryopratomo tentang theocentric leadership dan Nurcholish Madjid tentang Islamic-profetic leadership menunjukkan bahwa kepemimpinan transendental tidak hanya konsep normatif keagamaan, melainkan memiliki dasar teoritik yang kuat untuk dijadikan paradigma manajerial dan institusional.

5.Menjawab Krisis Kepemimpinan.

Di tengah krisis integritas dan hegemoni kekuatan politik dalam birokrasi pendidikan, gagasan ini sangat relevan sebagai model alternatif untuk membangun ekosistem kampus yang unggul dan beradab.

Konklusi
Kepemimpinan transendental adalah bentuk kepemimpinan berbasis nilai tauhid, yang menempatkan Tuhan sebagai pusat orientasi, integritas sebagai fondasi, dan kemaslahatan umat sebagai misi utama.

Kepemimpinan model ini menolak pragmatisme politik dan hegemoni kekuasaan, dan menghidupkan kembali ruh kenabian dalam mengelola amanah publik.

Dalam konteks UIN Imam Bonjol, kepemimpinan transendental menjadi arah ideal untuk membangun atmosfer akademik yang religius, unggul, dan humanis, menuju kampus berkelas internasional yang tetap menjaga akar nilai Islam.

Warisan kepemimpinan yang sejati bukanlah jabatan atau kekuasaan, tetapi integritas dan kebermanfaatan. Sebab pemimpin yang dikenang adalah mereka yang menjadikan jabatan sebagai ladang ibadah, bukan alat transaksi.

Penutup
Tulisan ini bukan hanya refleksi spiritual, tetapi juga manifesto nilai bagi seluruh pemimpin umat di segala level: kampus, masyarakat, dan bangsa. Dalam era krisis keteladanan, kepemimpinan transendental adalah jalan pulang menuju kejujuran, keadilan, dan keberkahan. DS.01082025.

Daftar Referensi
• Al-Qur’an dan Hadis Shahih Bukhari-Muslim
• Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sultaniyyah, Dar al-Fikr
• Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
• Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Daulah, Maktabah Wahbah
• Fatwa MUI No. 7 Tahun 2005 tentang Etika Kepemimpinan
• Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Paramadina
• Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning, 1946
• Suryopratomo, “Kepemimpinan Transendental”, Jurnal Pemikiran Islam Kontemporer, 2020

Leave a Reply