KERUKUNAN KEINDONESIAN
Oleh: Duski Samad
Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat
Fenomena penolakan Ustaz Abdul Somad (UAS) di Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Ahad 23 Agustus 2025, yang viral di media sosial, kembali memunculkan diskursus mengenai intoleransi ini menegaskan bahwa kerukunan bukanlah kondisi statis, melainkan proses sosial, politik, dan kultural yang terus diuji dalam bingkai kebangsaan.
Sebagai bangsa yang dibangun di atas kemajemukan agama, etnis, dan budaya, Indonesia memerlukan kerangka filosofis yang kokoh dalam merawat kebersamaan.
Artikel ini menguraikan empat worldview (pandangan dunia) sebagai fondasi Kerukunan Keindonesian: Universalitas, Subyektivitas, Sosio-Kultural, dan Harmony Development.
1.Universalitas:
Hak Asasi dan Konstitusi sebagai Fondasi Kerukunan
Prinsip universalitas menegaskan bahwa kerukunan bertumpu pada hak asasi manusia dan konstitusi negara.
UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) menegaskan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut keyakinannya.
Pasal 29 ayat (2) menambahkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk beribadat.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (Pasal 22) menegaskan hak kebebasan beragama sebagai hak fundamental.
Instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (1948) dan International Covenant on Civil and Political Rights (1966) telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Data empiris menunjukkan kondisi kerukunan relatif baik. Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) 2024 yang dirilis Kementerian Agama mencatat skor 76,47 (kategori tinggi). Meskipun demikian, masih terjadi insiden lokal yang menegaskan perlunya penguatan instrumen hukum dan kesadaran publik.
Analisis: Universalitas meneguhkan bahwa kerukunan bukan semata norma sosial, melainkan kewajiban konstitusional dan amanat internasional.
2.Subyektivitas: Perspektif Personal dan Sensitivitas Sosial.
Kerukunan tidak hanya dimaknai secara formal, tetapi juga melalui pengalaman subjektif masyarakat. Kasus Papua, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang marginalisasi, identitas lokal, dan trauma politik. Kehadiran figur tertentu dapat dipersepsikan berbeda—ada yang memandang sebagai ancaman, ada yang menilai sebagai dakwah biasa.
Kajian psikologi sosial menyebut fenomena ini sebagai ingroup-outgroup bias (Tajfel & Turner, 1979). Masyarakat cenderung protektif terhadap kelompok sendiri dan curiga pada pihak luar. Dalam konteks Papua, sensitivitas identitas kultural memperbesar ruang interpretasi subyektif.
Implikasi ilmiah: Kerukunan perlu didekati dengan empati, dialog, dan komunikasi yang mempertimbangkan persepsi lokal. Jika hanya mengedepankan perspektif hukum tanpa mengindahkan pengalaman subjektif masyarakat, kerukunan mudah terganggu.
3.Sosio-Kultural: Kearifan Lokal dan Peran FKUB
Kerukunan keindonesian bersifat sosio-kultural, berakar pada kearifan lokal yang memperkuat toleransi.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 mengatur pendirian rumah ibadat dan menempatkan FKUB sebagai mediator dialog antarumat.
Kearifan lokal Papua seperti musyawarah adat, gotong royong, dan penghormatan pada tetua dapat menjadi basis resolusi konflik.
Di berbagai daerah, FKUB telah memfasilitasi forum dialog lintas agama yang terbukti menurunkan potensi konflik berbasis agama.
Referensi empiris: Penelitian Setara Institute (2023) menunjukkan bahwa daerah dengan FKUB aktif cenderung memiliki tingkat konflik keagamaan lebih rendah dibanding daerah dengan peran FKUB lemah.
Analisis: Kearifan lokal dan institusi sosial merupakan instrumen efektif. Formalisasi regulasi harus disertai revitalisasi peran FKUB dan tokoh adat.
4.Harmony Development: Kerukunan sebagai Strategi Pembangunan
Kerukunan tidak sekadar nilai moral, melainkan strategi pembangunan nasional.
UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menegaskan pencegahan konflik sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.
Perpres No. 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama memberikan arah kebijakan nasional dalam menjaga harmoni sosial.
Bank Dunia (2021) menegaskan bahwa stabilitas sosial merupakan salah satu prasyarat utama pembangunan ekonomi berkelanjutan di negara berkembang.
Contoh konkret: Papua sebagai daerah kaya sumber daya alam, namun konflik sosial dan politik membuat potensi ekonomi belum optimal. Hal ini menunjukkan bahwa harmoni sosial adalah prasyarat pembangunan ekonomi.
Analisis. Pembangunan tanpa kerukunan hanya menghasilkan pertumbuhan yang rapuh. Kerukunan adalah modal sosial (social capital) yang memperkuat daya saing bangsa.
Kesimpulan
Empat worldview untuk Kerukunan Keindonesian adalah:
1.Universalitas → menjadikan HAM dan konstitusi sebagai fondasi.
2.Subyektivitas → memahami sensitivitas dan pengalaman personal masyarakat.
3.Sosio-Kultural → menghidupkan kearifan lokal dan memperkuat peran FKUB.
4.Harmony Development → menjadikan kerukunan motor pembangunan bangsa.
Kerukunan bukan slogan, melainkan proyek kolektif bangsa yang harus dikerjakan secara berkelanjutan melalui hukum, empati, budaya, dan visi pembangunan.
Kasus penolakan UAS di Papua adalah cermin tantangan yang harus dihadapi dengan pendekatan menyeluruh—agar Indonesia tetap tegak sebagai bangsa majemuk yang damai dan beradab.
ds.24082025
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.