STRATEGI PERADABAN MENGHADAPI MODERNISME:
Peran Sekolah Islam, Madrasah, dan Pondok Pesantren
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Keberadaan Sekolah Islam, Sekolah Islam Terpadu, Madrasah, dan Pesantren: Jawaban terhadap Efek Negatif Modernisme
1.Efek Negatif Modernisme terhadap Pendidikan dan Moral
Modernisme membawa kemajuan teknologi, industrialisasi, dan rasionalisme. Namun, ia juga menimbulkan sejumlah dampak negatif, antara lain:
Sekularisasi: terpisahnya nilai agama dari kehidupan publik dan pendidikan.
Individualisme & Hedonisme: orientasi pada kesenangan materi, menurunnya kepedulian sosial.
Relativisme Moral: hilangnya standar benar–salah, diganti dengan prinsip “semua boleh”.
Krisis Identitas: generasi muda tercerabut dari akar budaya dan agama.
2.Sekolah Islam dan Sekolah Islam Terpadu (SIT)
Sekolah Islam menekankan pendidikan umum dengan basis nilai-nilai Islam.
Sekolah Islam Terpadu (SIT) mengintegrasikan kurikulum nasional dengan pendidikan agama, pembiasaan ibadah, dan pembinaan karakter Islami.
Jawaban terhadap modernisme:
Menyeimbangkan sains modern dengan akhlak Qur’ani.
Menyediakan ruang belajar yang tidak hanya mengejar nilai akademik, tetapi juga pembentukan akhlak dan kepribadian Islami.
Membiasakan praktik ibadah (shalat dhuha, tahfiz, doa bersama) di tengah hiruk-pikuk gaya hidup modern.
3.Madrasah
Madrasah merupakan institusi pendidikan berciri Islam yang mengajarkan ilmu agama dan umum.
Dibina oleh Kemenag, madrasah kini mengalami transformasi dengan standar mutu setara sekolah umum.
Jawaban terhadap modernisme:
Menjaga kesinambungan ilmu agama di tengah arus sekulerisasi.
Membangun kesadaran bahwa modernisasi sains tidak boleh mengikis nilai spiritual.
Membentuk siswa yang unggul di bidang akademik sekaligus memiliki pemahaman syariat dan akhlak Islami.
4.Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara.
Basisnya adalah pendidikan tafaqquh fiddin (pendalaman agama), adab, dan kepemimpinan.
Jawaban terhadap modernisme:
Menjadi benteng moral dari arus hedonisme dan materialisme.
Menyediakan ruang tafakkur, ibadah, dan penguatan spiritual di tengah gempuran teknologi dan budaya pop.
Menyiapkan kader ulama, dai, dan intelektual Muslim yang dapat berdialog dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas.
5.Integrasi dan Transformasi
Sekolah Islam, SIT, Madrasah, dan Pesantren kini tidak lagi berdiri sendiri, tetapi saling melengkapi.
Pesantren membuka diri pada ilmu modern (sains, teknologi, entrepreneur).
Madrasah dan SIT memperkuat basis agama di samping kurikulum umum.
Semua menjadi jawaban untuk melahirkan generasi yang beriman, berilmu, berakhlak, dan adaptif terhadap zaman.
6.Landasan
Al-Qur’an: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat0 yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Hadis: “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Fatwa dan pemikiran ulama: pendidikan Islam adalah “tameng moral umat” dalam menghadapi perubahan sosial modern.
Keberadaan sekolah Islam, SIT, madrasah, dan pesantren bukanlah sekadar alternatif, tetapi strategi peradaban untuk menjawab efek negatif modernisme. Lembaga-lembaga ini:
1.Menyediakan pendidikan yang holistik—mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal.
2.Menjadi benteng moral dan spiritual generasi.
3.Melahirkan insan berkarakter Qur’ani yang siap menghadapi tantangan global.
PERUBAHAN BESAR
Modernisme telah membawa perubahan besar dalam bidang sains, teknologi, dan tata kehidupan sosial. Di satu sisi, modernisme memberi manfaat berupa efisiensi, rasionalitas, dan kemajuan material. Namun di sisi lain, ia juga menimbulkan efek negatif berupa sekularisasi, individualisme, hedonisme, relativisme moral, dan krisis identitas generasi muda.
Dalam konteks Indonesia, keberadaan sekolah Islam, sekolah Islam terpadu, madrasah, dan pesantren menjadi strategi peradaban dalam menjaga jati diri bangsa dan memperkuat peran agama sebagai penuntun hidup.
1.Efek Negatif Modernisme
1.Sekularisasi Pendidikan: terpisahnya nilai agama dari kurikulum umum.
2.Krisis Moral dan Akhlak: maraknya perilaku koruptif, konsumtif, dan kekerasan sosial.
3.Individualisme: melemahnya solidaritas sosial akibat budaya materialisme.
4.Relativisme Nilai: hilangnya standar benar–salah, tergantikan oleh prinsip “semua boleh”.
5.Krisis Identitas: generasi muda tercerabut dari akar agama dan budaya.
2.Sekolah Islam dan Sekolah Islam Terpadu (SIT)
Sekolah Islam hadir sebagai lembaga pendidikan yang mengintegrasikan kurikulum nasional dengan nilai-nilai Islam. SIT bahkan menambahkan praktik ibadah harian (tahfiz, shalat berjamaah, doa bersama) sehingga pendidikan karakter lebih nyata.
Strategi peradaban:
Mengintegrasikan ilmu modern dengan akhlak Qur’ani.
Membentuk insan ulul albab: cerdas intelektual, matang spiritual, dan peduli sosial.
3.Madrasah
Madrasah adalah wujud modernisasi pendidikan Islam di bawah naungan Kementerian Agama. Saat ini madrasah tidak hanya menekankan tafaqquh fiddin, tetapi juga unggul dalam bidang sains dan teknologi.
Strategi peradaban:
Menjadi pusat integrasi ilmu agama dan ilmu modern.
Menyiapkan generasi Muslim yang kompetitif di ranah akademik sekaligus religius.
Menjaga keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal.
4.Pesantren
Pesantren adalah benteng tradisional umat yang bertahan menghadapi berbagai era, termasuk modernisme. Ia melahirkan ulama, pemimpin umat, dan tokoh peradaban.
Strategi peradaban:
Menjaga spiritualitas dan moralitas bangsa.
Menyediakan ruang pendidikan berbasis tafaqquh fiddin sekaligus keterampilan modern.
Menjadi pusat civil society yang berakar pada tradisi dan agama.
5.Integrasi Pendidikan Islam sebagai Jawaban Peradaban
Ketiga model pendidikan Islam ini—sekolah Islam/SIT, madrasah, dan pesantren—saling melengkapi. Jika dikembangkan dengan baik, mereka menjadi jawaban terhadap efek negatif modernisme dengan cara:
1.Menyediakan pendidikan holistik berbasis iman, ilmu, dan amal.
2.Menjadi ruang pembentukan karakter Qur’ani.
3.Mempersiapkan generasi Muslim yang adaptif terhadap zaman tanpa kehilangan identitas.
6.Landasan Normatif
Al-Qur’an: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Hadis: “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Ulama Kontemporer: Al-Attas (1993) menekankan Islamisasi ilmu sebagai strategi melawan sekularisasi pendidikan moderen
Kesimpulan
Modernisme menghadirkan tantangan besar bagi moralitas dan identitas generasi muda. Namun, melalui sekolah Islam, SIT, madrasah, dan pesantren, umat Islam di Indonesia memiliki strategi peradaban untuk menyeimbangkan kemajuan sains dengan nilai spiritual, menguatkan karakter, dan menjaga identitas keislaman.
Institusi-institusi pendidikan Islam ini bukan hanya alternatif, tetapi pilar peradaban dalam membangun generasi Qur’ani yang berilmu, berakhlak, dan mampu menjawab tantangan global.
Kesimpulan
Modernisme telah membawa perubahan besar dalam bidang sains, teknologi, dan tatanan sosial. Manfaat berupa efisiensi dan rasionalitas tidak dapat dipungkiri, namun dampak negatifnya—sekularisasi, individualisme, hedonisme, relativisme moral, hingga krisis identitas—menjadi ancaman serius bagi generasi muda. Dalam konteks inilah pendidikan Islam memainkan peran strategis sebagai benteng peradaban.
Pertama, Sekolah Islam dan Sekolah Islam Terpadu (SIT) tampil dengan model integratif, menggabungkan kurikulum nasional dengan nilai Qur’ani dan pembiasaan ibadah, sehingga menjadi wadah lahirnya generasi ulul albab yang cerdas intelektual, matang spiritual, dan peduli sosial.
Kedua, Madrasah hadir sebagai modernisasi pendidikan Islam yang menyeimbangkan ilmu agama dan ilmu umum. Ia melahirkan generasi Muslim kompetitif di bidang akademik sekaligus religius, menjaga kesinambungan iman, ilmu, dan amal di tengah derasnya arus sekularisasi.
Ketiga, Pesantren tetap menjadi institusi paling otentik yang melahirkan ulama, pemimpin umat, dan penjaga moralitas bangsa. Dengan tradisi tafaqquh fiddin, pesantren bertransformasi tanpa kehilangan ruhnya, sekaligus menjadi pusat civil society yang berakar pada tradisi Islam dan mampu berdialog dengan dunia modern.
Dengan demikian, keberadaan sekolah Islam, SIT, madrasah, dan pesantren bukan sekadar alternatif pendidikan, melainkan pilar peradaban yang menyediakan pendidikan holistik, membentengi moral generasi, serta melahirkan insan Qur’ani yang berilmu, berakhlak, dan siap menghadapi tantangan global.
Sebagaimana ditegaskan Al-Attas (1993) melalui gagasan Islamisasi ilmu, Azyumardi Azra (2012) tentang modernisasi madrasah, dan Dawam Rahardjo (1985) dalam pembaruan pesantren, maka strategi peradaban menghadapi modernisme adalah dengan menjadikan pendidikan Islam sebagai pusat integrasi antara iman, ilmu, dan amal.
Referensi
1. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
2. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana, 2012.
3. Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina, 1997.
4. Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
5. Rahardjo, Dawam. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1985.