MENGEMBALIKAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL PADA TEMPAT YANG SESUNGGUHNYA

MENGEMBALIKAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL PADA TEMPAT YANG SESUNGGUHNYA

Penulis: Azwirman,S.Pd

 

Kita semua sepakat bahwa, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) NO 20 Tahun 2003, adalah aturan inti dari seluruh proses kegiatan pendidikan di Indonesia. Tentu saja tetap mengacu kepada amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Di antara isi dari Undang-Undang tersebut, tujuan Pendidikan Nasional adalah hal yang paling penting untuk di perhatikan. Kenapa penulis mengatakan demikian? Sebab idealnya memang seluruh kegiatan pendidikan, apakah dalam bentuk penyusunan kurikulum, materi ajar pendidikan, metode pembelajaran dalam pendidikan, evaluasi pendidikan dan lain sebagainya, harus mengacu kepada tujuan pendidikan nasional itu.

Di dalam penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah gamblang di jelaskan bahwa, “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan Keimanan dan Ketakwaan serta Akhlak Mulia dalam rangka Mencerdaskan Kehidupan Bangsa yang diatur dengan undang-undang” (terdapat pada paragraf pertama, halaman pertama dalam Penjelasan Undang Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003) untuk lebih jelasnya isi UU No 20 Tahun 2003, pada BAB II Pasal 3, berikut kutipannya: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta Peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang Beriman dan bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”

Berdasarkan penjelasan dan isi dari tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tersebut maka, menurut hemat penulis maka, tujuan Pendidikan Nasional secara garis besar dapat di kelompokkan kepada 3 hal yaitu;

Pertama, Meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan

Maksud dari Keimanan disini tentu saja Keimanan dan Ketaqwaan berdasarkan konsep agama masing-masing warganegara yang majemuk dalam identitas agama dan kepercayaan. Indonesia adalah negara yang secara konstitusi mengakui dan menjamin tiap-tiap warganegara menganut agama dan kepercayaan. Ada 6 Agama yang diakui oleh pemerintahan negara Republik Indonesia hingga detik ini, yaitu; Islam, Khatolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong hu chu.

Pada kesempatan ini, penulis tentu tidak akan membahas konsep keimanan dan ketaqwaan dari semua agama yang diakui oleh Republik ini. Sebab konsep keimanan masing-masing agama tentu saja memiliki perbedaan yang sangat mendasar.

Islam, dalam hal ini adalah Agama/ Keyakinan yang penulis anut yang bukan hanya sekedar identitas akan tetapi juga Way Of Life, jalan hidup dan kehidupan itu sendiri. Islam adalah Dien yang Allah swt sudah ajarkan dan pahamkan kepada Manusia pertama, Adam as dan disempurnakan oleh Rasul terakhir Muhammad saw.

Islam memiliki sumber pokok yang paling tinggi bagi umat dan pemeluknya. Alquran dan Sunnah, yang jika mereka (umat islam) berpegang teguh dengan menjalankan semua perintah dan meninggalkan semua larangan maka, akan selamat dunia dan akhirat, sebaliknya apabila tidak menjalankan apa yang sudah menjadi sumber dari segala sumber kehidupan itu (Alquran dan Sunnah) maka, akan di ancam dengan azab yang pedih. Ini adalah keyakinan dan ajaran dalam islam.

Banyak sekali ayat Alquran maupun Hadits/ Sunnah yang berbicara tentang Iman dan Taqwa. Berikut ini di tuliskan beberapa saja sebagai acuan dalam tulisan ini:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri, beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka, berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka, disebabkan perbuatan-nya.” (QS.7:96)

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar iman dengan kekafiran, sekali-kali mereka tidak dapat member mudharat kepada Allah sedikitpun, dan bagi mereka adalah azab yang pedih” (QS: Ali Imran, 177)

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “kami telah beriman”. Katakanlah: “kamu bellum beriman, tapi katakanlah, kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.(QS: Al Hujurat, 14)

“hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang sudah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu bertaqwa (QS: Al Baqarah, 183)

“Allah pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (Iman), Dan orang-orang kafir pelindung mereka adalah Syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni Neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS: Al Baqarah, 257)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS: Ali Imran, 102)

Dalam Islam, Iman atau keimanan adalah hal yang paling pokok (penting) dan prinsip yang harus di miliki oleh seorang muslim. Belumlah sempurna keislaman seseorang apabila ia belum punya iman yang kuat. Iman ibarat Fondasi pada sebuah bangunan. Fondasi yang kuat dan kokoh akan membuat bangunan tahan dan kuat terhadap goncangan se kuat apapun. Sebaliknya apabila fondasinya lemah atau tidak punya fondasi sama sekali maka, bangunan sehebat atau secantik apapun akan runtuh dan hancur meskipun hanya terkena goncangan yang tidak kuat sekalipun.

Hal ini di buktikan dalam sejarah penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw. Di dalam kitab “Sirah Nabawiyah” yang di tulis oleh Syaikh Said Ramadhan al Buthi, dan juga di seluruh kitab Sirah lain yang di tulis oleh para ulama lainnya, di jelaskan bahwa, ajaran islam yang di syiarkan dan di dakwahkan oleh Rasulullah saw dilakukan dalam dua periode. Periode pertama Periode Mekkah. Periode Mekkah adalah periode dakwah Rasulullah di wilayah Mekkah, sebagai tanah kelahiran dan kampung halaman beliau. Periode ini adalah terberat dan terlama (13 tahun). kenapa di sebut terberat dan terlama? Sebab Rasulullah saw membenahi jiwa dan hati masyarakat Mekkah waktu itu. Kalau istilah sekarang Rasulullah saw melakukan “Revolusi Mental” dengan mengosongkan jiwa dan fikiran manusia Mekkah dari ajaran kemusyrikan (menyembah banyak patung) kepada ajaran Tauhid (mengesakan Allah swt) banyak sekali tantangan yang beliau hadapi dan lalui. Ancaman pengusiran hingga percobaan pembunuhan berkali-kali. Siksaan yang luar biasa pernah beliau rasakan dengan para sahabat-sahabat yang setia selama tiga tahun. Selama itu pula Rasulullah saw nyaris tidak ada yang bisa di makan karena pasokan makanan yang di hentikan oleh kafir Musyrik Quraisy.

Periode Mekkah bisa disebut “membangun pondasi” berupa keislaman dan keimanan. Setelah itu beliau hijrah ke Madinah yang berjarak lebih kurang 500 kilometer dari Mekkah ke arah utara. Di Madinah beliau berdakwah selama 10 tahun dengan melanjutkan bangunan keislaman dengan tiang, dinding hingga atap yang beliau sempurnakan hingga wafatnya beliau pada tahun ke 11 Hijriyah.

Ketaqwaan adalah puncak dari derajat seorang hamba di mata Allah swt. Seorang hamba belum bisa di sebut Taqwa apabila keimanan dalam dirinya benar-benar kuat dan kokoh menghujam ke dalam jiwa. Contoh hamba-hamba Allah swt yang sudah mencapai puncak level Taqwa diantaranya Para nabi dan rasul, sahabat-sahabat seperjuangan dengan Nabi yang dengan ikhlas dan kerelaan hati memberikan apapun yang mereka miliki termasuk harta dan jiwa yang mereka cintai. Para ulama-ulama yang lurus dalam berjuang dan berdakwah menyampaikan kebenaran kepada umat manusia, serta orang-orang yang senantiasa belajar dan berilmu dari para ulama-ulama yang lurus tersebut siapapun itu.

Alangkah bagus dan indahnya tujuan pendidikan yang sudah di amanatkan oleh Undang-Undang kalau kita renungkan dan laksanakan dengan sungguh-sungguh. Kalimat “Meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan” menurut ajaran islam adalah tujuan pendidikan yang sangat tepat sebagaimana yang sudah di contohkan oleh para nabi dan Rasul yang di lanjutkan oleh para ulama hingga hari ini.

Kedua, Membentuk Akhlak Mulia.

Tujuan pendidikan menurut Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang kedua adalah membentuk dan melatih peserta didik agar berakhlak mulia, berkarakter dan beradab serta berbudaya sopan santun.

Setelah keimanan dan ketakwaan terbentuk maka, otomatis sebenarnya siswa atau peserta didik sudah berakhlak mulia dan berkarakter baik. Akhlak dalam islam adalah hal yang sangat penting setelah keimanan.

Rasulullah saw bersabda; “Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan Akhlak”

Akhlak berkaitan sangat dengan Iman dan Taqwa seseorang. Jika keimanan seorang muslim baik dan bagus maka, akhlaknya juga bagus dan baik, sebaliknya jika keimanan menurun dan melemah maka, akhlaknya juga cenderung melemah dan memburuk. Meningkatnya keimanan berbanding lurus dengan ketaatan, sedangkan memburuknya keimanan berbanding lurus dengan kemaksiatan dan dosa yang gandrung untuk dilakukan.

Akhlak dan karakter sebuah bangsa adalah sebuah hal yang tidak kalah pentingnya dengan keimanan tadi. Sebab apabila sebuah bangsa sudah kehilangan akhlak dan karakternya maka, sebuah bangsa itu sudah berada di ambang kehancuran. Apapun model dan jenis bangsa dan negara yang ada didunia, apabila sudah mengabaikan karakter bangsa maka, negara dan bangsa itu akan segera jatuh. Kalau sebuah bangsa jatuh maka, bangsa lain yang akan masuk dan memangsa negara tersebut. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi di negara kita tercinta ini. Oleh sebab itu maka, kita semua harus merasa bertanggung jawab terhadap tujuan pendidikan ini. Jangan kita disibukkan dengan siswa pintar akan tetapi tidak berakhlak dan bermoral. “satu orang pintar yang tidak berakhlak lebih berbahaya dari seratus orang bodoh”

Merebaknya korupsi, manipulasi, kebohongan publik, kemunafikan, kejahatan, penipuan dan lain sebagianya di negara kita akhir-akhir ini adalah isyarat dan peringatan bagi kita untuk berbenah agar bangsa ini tidak masuk ke jurang kehinaan dan mangsa bagi bangsa lain. Mari segera kita menyadari akan pentingnya karakter dan akhlak yang selama ini kita sangat abai dalam dunia pendidikan kita. Kita lebih sibuk dan serius mengurus Ujian nasional, Olimpiade Matematika dan IPA, Kompetisi ini dan itu, seminar ini dan itu sedangkan hal pokok dalam pendidikan kita abaikan. Akibatnya generasi kita sekarang dan akan datang memetik hasilnya. Alangkah banyaknya persoalan bangsa hari ini. Mulai dari pemimpin yang tidak cakap, orang pintar yang berbuat culas, orang bodoh yang merasa pintar, orang kaya yang rakus, orang miskin yang semakin putus asa dan lain sebagianya.

Ketiga, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Tujuan pendidikan yang selanjutnya menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Hal ini sesuai dengan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa tujuan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Memang dalam undang-undang sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 tidak secara eksplisit disebutkan mencerdaskan kehidupan bangsa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta Peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang Beriman dan bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, Bab II, Pasal 3) akan tetapi kata kunci dari Berilmu, Cakap dan Kreatif serta Mandiri dan bertanggung jawab adalah modal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan pendidikan kita harus bisa melahirkan orang-orang yang memiliki ciri-ciri seperti itu.

Cerdas tidak sekedar Pintar dalam menjawab soal-soal ujian di sekolah, akan tetapi mampu menjawab soal-soal kehidupan sehari-hari dan mampu menjawab tantangan kedepan. Kata “cerdas” adalah hal yang sangat tepat. Seseorang disebut cerdas adalah mereka yang mampu memilah dan memilih segala hal yang muncul dalam hidupnya, berfikir dulu baru bertindak sehingga mampu menghasilkan sebuah keputusan yang tepat dalam hidupnya. Orang cerdas adalah seseorang yang mampu memberikan sebanyak-banyak manfaat bagi orang lain. Mereka adalah “problem solver” bukan “problem maker” apalagi “trouble maker” dimanapun dan kapanpun ia menjadi sebuah solusi.

Inilah kecerdasan menurut penulis. Anak-anak yang cerdas tidak lahir begitu saja “sim salabim” akan tetapi melalui sebuah proses yang panjang dengan penuh kesabaran. Dan yang lebih penting dari itu untuk melahirkan orang cerdas sebagaimana yang digambarkan diatas butuh sekali dengan yang namanya “guru yang cerdas” juga. Sementara pendidikan kita dalam hal ini sekolah dan perguruan tinggi (universitas) yang mencetak guru-guru hebat dan cerdas semakin ke sini semakin sedikit guru-guru yang cerdas yang dihasilkan.

Kalau kita tarik sejarah, sekitar tahun 1960-an, 1950-an ke bawah, Guru adalah sebuah “profesi” yang “bergengsi” sangat di minati oleh calon Mahasiswa IKIP dan calon siswa SPG atau PGA atau SGO. Untuk masuk IKIP (institut keguruan dan ilmu pendidikan) lebih sulit di bandingkan masuk kedokteran UI atau ITB sekarang. Betapa untuk menjadi guru bukan sembarangan pada masa itu.

Ditambah lagi dengan sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat ketat dan menekankan proses pembelajaran yang tidak main-main. Alm. Pak Natsir sewaktu sekolah SMA di Bandung zaman Belanda tahun 1920 an bercerita, untuk bisa lulus ujian satu mata pelajaran maka, harus membaca buku minimal 30 judul buku dan bukunya rata-rata tebal-tebal. Makanya, tamat SMA saja di masa itu kalau bekerja jadi pegawai Belanda gajinya sama dengan Rp 14 juta sebulan sekarang.

Begitulah kualitas pendidikan di zaman belanda dan di awal kemerdekaan. Betapa untuk cerdas itu butuh perjuangan dan pengorbanan, berlelah-lelah seharian tanpa henti untuk belajar, menelaah, meneliti, observasi, dan mengalami.

Ulama besar Imam As Syafii pernah berpesan, “siapa yang tidak mau bersusah-susah (menderita) dalam belajar dan menuntut ilmu maka, ia akan menanggung pedihnya sebuah kebodohan”

Kita begitu sedih dan miris melihat kenyataan hari ini, betapa sosok guru sudah bukan sosok yang sangat bergengsi lagi sebagimana halnya dulu di awal kemerdekaan. Sudahlah gajinya (terutama honor) yang tidak seberapa dan jauh dari kata layak, penghargaan di masyarakat yang sangat kurang, pemerintah dan birokrasi yang selalu lebih banyak mempersulit daripada mempermudah. Di tambah lagi dengan rekrutmen guru yang asal-asalan.

Di Negara kita, standar yang baku dan menjadi acuan dalam perekrutan guru tidak pernah jelas. Insinyur bisa jadi guru, tentara bisa jadi guru, pengusaha bisa jadi guru, tokoh masyarakat bisa jadi guru, dokter bisa jadi guru. Politisi bisa jadi guru. Sementara kalau di balik maka, guru tidak bisa jadi dokter, guru tidak bisa jadi insinyur dan lain sebagainya. Sehingga di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya bermunculan, maaf! Guru Siluman. Bakatnya tukang pukul tapi jadi guru, makanya kerjanya mukul siswa tiap sebentar. Ada bakatnya menghadapi benda mati, semisal ahli komputer, akan tetapi jadi guru. Sehingga siswa kebingungan saat beliau mengajar. Ada yang bakatnya jadi penyanyi tapi jadi guru maka, tiap sebentar siswa di suruh nyanyi dan lain sebagainya. Inilah faktanya.

Di dalam buku “Begini Seharusnya Menjadi Guru” yang di tulis oleh Fu’ad bin abdul aziz asy-Syalhub, memaparkan banyak sekali kriteria-kriteria atau karakter yang harus di miliki oleh seorang guru. Diantaranya, Mengikhlaskan ilmu hanya untuk Allah, Jujur, Serasi dan sesuai antara ucapan dan perbuatan, bersikap Adil dan tidak berat sebelah, berakhlak mulia dan Terpuji, Tawadhu’ atau rendah hati, Berani menyatakan yang Haq adalah Haq yang Bathil adalah Bathil, mampu menyesuaikan diri dengan peserta didik, Sabar dan menahan emosi, menghindari perkataan keji dan tidak pantas dan terakhir mampu berkomunikasi dengan baik dengan siapapun.

Di bagian kedua di buku yang sama, juga dipaparkan tuguas-tugas dan kewajiban-kewajiban guru, diantaranya; menanamkan aqidah yang benar dan memantapkan kualitas iman siswa pada saat proses belajar mengajar, memberikan nasehat kepada peserta didik, lembut kepada anak didik dan mengajarnya dengan metode yang bagus, tidak menyebut nama secara langsung seaktu memberikan teguran saat siswa itu bersalah, memberi salam kepada anak didik sebelum dan setelah pelajaran, menerapkan sistem sanksi saat mengajar dan memberikan penghargaan kepada anak didik yang sepantasnya di beri penghargaan.

Begitu banyaknya kriteria, tugas dan tanggung jawab yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang guru. Hal ini seharusnya menyadarkan kita semua terutama pemangku kebijakan, kalau merekrut seorang calon karyawan di sebuah perusahaan, calon polisi, calon tentara, calon pilot, calon dokter dan lain sebagainya harus melewati dan melalui sebuah seleksi yang panjang dan ketat, begitu pulalah seharusnya dilakukan dalam melakukan perekrutan calon guru. Kalau bisa lebih ketat dengan syarat-syarat yang berat. Ini bukan muluk-muluk sebab kita sering menyebut “guru adalah ujung tombak masa depan bangsa” kalau seorang dokter gagal mendiagnosa penyakit barangkali yang akan rugi adalah pasiennya, akan tetapi jika ada seorang guru gagal mendiagnosa “Penyakit siswanya” maka obat yang di berikan juga keliru akibatnya bisa fatal, siswa tadi suatu saat akan menjadi manajer atau pejabat misalnya, akan menjadi manajer dan pejabat yang tidak jujur dan merugikan banyak orang. Itu baru satu orang siswa, seandainya ada banyak siswa yang salah diagnosa dan salah kasih obat maka, betapa banyak calon “monster” masa depan yang akan menjadi beban negara. Itulah jika salah memilih guru. Di negara kita sudah lama hal ini terjadi.

KESIMPULAN

Sebuah bangsa dan peradaban, sekuat dan sehebat apapun maka, tidak akan pernah bertahan lama jika tidak ada usaha sungguh-sungguh dan serius untuk melakukan perbaikan kwalitas sumber daya manusianya dengan pendidikan yang baik. Para pendiri bangsa (Founding Father) dengan sangat cerdas sudah memahami dan melihat jauh kedepan bagaimana nasib sebuah bangsa jika pendidikan tidak di benahi dengan serius. Makanya ketika UUD 1945 di susun dengan sangat jelas dan tegas bahwa, pendirian Pemerintahan Negara indonesia salah satunya adalah, Mencerdaskan kehidupan bangsa, berikut kutipan pembukaan UUD 1945 alinea 4;

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah pengejewantahan dari Tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang di amanatkan dalam pembukaan UUD 1945 tadi, yang secara lebih konkrit di jabarkan dengan lebih detail bahwa ada 3 tujuan pendidikan nasional; meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan, Berakhlak mulia dalam rangka meningkatkan Kecerdasan bangsa. Keimanan, Ketaqwaan dan Akhlak mulia menjadi pra syarat untuk menjadi bangsa yang memiliki kecerdasan. Artinya bangsa dan negara yang cerdas adalah yang memiliki Keimanan, Ketaqwaan, akhlak mulia, beradab dan berkarakter baik.

Tentu dalam menafsirkan Keimanan, Ketaqwaan dan Akhlak Mulia pada bangsa yang majemuk (Plural) seperti Indonesia masing-masing kelompok memiliki tafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda. Islam adalah agama yang mayoritas di anut oleh pendudukan dan masyarakat Indonesia, sudah memberikan konsep Iman, Taqwa dan Akhlak Mulia dengan sangat gamblang dan jelas dan tidak perlu di ragukan lagi.
Kedepan, semua pihak terutama pelaku pendidikan seperti Orang tua, siswa dan guru serta pemerintah lebih menekankan Iman, taqwa dan akhlak mulia dalam menyusun program dan kurikulum pendidikan agar bangsa ini terdidik, berilmu dan berperadaban maju. Semoga.

SUMBER TULISAN

Alqurannul karim dan terjemahannya, Penerbit, Al- Hanan, Solo: 2009.
Dr Adian Husaini, Pendidikan Islam: Mewujudkan generasi gemilang menuju Negara adidaya 2045. Penerbit: Yayasan Pendidikan Islam at Taqwa (cetakan III), Depok: 2018
Fu’ad bin Abdul aziz asy-Syalhab, Begini Seharusnya Menjadi Guru (Panduan Lengkap Metodologi Pengajaran Cara Rasulullah), Penerbit: Darul Haq, cetakan ke 11, Jakarta:2018
Guru Gembul Channel.https://www.youtube.com/watch?v=OYFhIrsZrb4
Muhammad Ramli, Muhasabah hari pendidikan nasional, Hidayatullah (mei 2016) di akses pada Oktober 2020.
UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003, Tentang, Sistem Pendidikan Nasional.
Syeikh Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, Penerbit: Rabbani Press.

Leave a Reply

News Feed