PAJAK, UPETI DAN KEADILAN DISTRIBUTIF

 

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol

Demo di beberapa daerah belakangan ini dipicu oleh kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam jumlah besar. Media sosial memuat beragam .

1.Masa Awal: Upeti sebagai Simbol Kekuasaan

Upeti pada awalnya bukan pajak dalam arti modern, tetapi persembahan atau hadiah dari rakyat atau daerah bawahan kepada raja, penguasa, atau kerajaan pusat.

Fungsi upeti:

Menunjukkan loyalitas dan pengakuan kedaulatan.

Menjadi alat legitimasi politik.

Sumber kekayaan pribadi raja/kerajaan.

Contoh:

Di Nusantara, kerajaan-kerajaan seperti Majapahit atau Sriwijaya menerima upeti dari daerah taklukan.

Dalam kekaisaran Tiongkok, negara-negara tetangga mengirim upeti sebagai tanda tunduk pada “Kaisar Langit”.

2.Transisi ke Pajak dalam Masyarakat Agraris

Seiring berkembangnya administrasi kerajaan, upeti berubah bentuk menjadi pungutan lebih teratur.

Pajak mulai dihubungkan dengan:

Tanah → sistem pajak tanah, misalnya land rent di India dan iwadh di Nusantara.

Hasil bumi → rakyat menyerahkan sebagian hasil panen.

Tenaga kerja (corvée labor) → kerja paksa membangun irigasi, candi, atau jalan.

3.Masa Islam dan Kolonial

Kesultanan Islam di Nusantara: upeti diganti dengan zakat, kharaj, dan jizyah dalam konteks hukum Islam.

Kolonial Belanda:

Dikenal sistem pajak tanah (landrente) yang diperkenalkan Raffles (1811–1816).

Cultuurstelsel (Tanam Paksa, 1830–1870) → rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor, bentuk pajak in natura.

Akhir abad ke-19 mulai dikenalkan pajak modern berbasis administrasi (pajak pendapatan, bea impor/ekspor).

4.Era Modern

Sejak awal abad ke-20, sistem pajak semakin rasional dan administratif, dengan dasar hukum tertulis.

Ciri-ciri pajak modern:

Wajib dan mengikat hukum (bukan persembahan sukarela).

Tidak ada imbalan langsung, tetapi untuk kepentingan negara (jalan, sekolah, keamanan).

Dikelola melalui lembaga keuangan negara.

Di Indonesia, setelah kemerdekaan 1945, pajak menjadi sumber utama APBN. Reformasi pajak dilakukan beberapa kali (1983, 1994, 2000, 2008, 2021).

5.Perbedaan Upeti dan Pajak

Aspek Upeti Pajak

Sifat Persembahan simbolik kepada raja/penguasa Kewajiban hukum kepada negara
Tujuan Loyalitas, legitimasi politik, kekayaan penguasa Pembiayaan negara & pembangunan
Bentuk Hasil bumi, barang mewah, tenaga kerja Uang, hasil produksi, penghasilan
Sistem Tidak teratur, kadang sukarela/terpaksa Teratur, berdasarkan undang-undang

6.Makna Historis

Upeti → menekankan hubungan patron-klien, feodalisme, simbol kekuasaan.

Pajak → menekankan sistem hukum, pemerintahan modern, dan kontrak sosial antara negara dengan warga.

1.Filosofi Pajak

Pajak dalam negara modern bukan sekadar pungutan, tetapi instrumen keadilan sosial dan distribusi kesejahteraan.

Pajak adalah bentuk kontrak sosial: rakyat membayar pajak → negara memberi jaminan keamanan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umum.

Prinsip filosofisnya:

1.Equity (Keadilan) → yang mampu membayar lebih, menanggung beban lebih besar.

2.Redistribution (Pemerataan) → pajak dipakai untuk membantu yang miskin.

3 Nation building → pajak membiayai pembangunan, bukan memperkaya penguasa (beda dengan upeti).

2.Al-Qur’an dan Hadis

Walau istilah pajak tidak eksplisit, konsep keadilan distribusi dan kewajiban berkontribusi untuk negara/umat sangat kuat dalam Islam.

QS. Al-Hasyr: 7
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”
➝ prinsip distribusi, agar kekayaan tidak menumpuk pada elit.

QS. Al-Baqarah: 267
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…”
➝ spirit pajak dan zakat: memberi sebagian untuk kepentingan umum.

Hadis Nabi ﷺ:
“Sultan (penguasa) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
➝ Negara berhak mengatur pungutan demi maslahat rakyat.

Praktik Khalifah Umar bin Khattab:
Umar menetapkan kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak perlindungan non-muslim) sebagai bentuk keadilan fiskal, hasilnya digunakan untuk fakir miskin dan pembangunan umum.

3 Progresif vs Regresif

Indonesia menganut kombinasi pajak progresif dan regresif.

a. Pajak Progresif

Definisi: Semakin besar penghasilan → semakin besar persentase pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif berlapis.

Filosofi: adil, karena orang kaya menanggung lebih besar.

Dalil Nash: sejalan dengan prinsip keadilan sosial dalam Islam (QS. An-Nahl:90 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”).

b. Pajak Regresif

Definisi: Semua orang bayar dengan persentase yang sama, sehingga relatif lebih berat bagi yang miskin.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak rokok, pajak BBM.

Masalah: bisa menekan daya beli masyarakat kecil.

Solusi Islami: hasilnya harus diarahkan untuk subsidi silang → misalnya PPN dipakai membiayai kesehatan dan pendidikan rakyat miskin.

4.Relevansi Pajak dengan Kesejahteraan Umum

Dalam kerangka Maqāṣid al-Syarī‘ah, pajak memiliki relevansi langsung dengan tujuan syariat:

1.Hifzh ad-dīn (menjaga agama) → pajak membiayai pendidikan agama.

2.Hifzh an-nafs (menjaga jiwa) → pajak membiayai rumah sakit, keamanan.

3.Hifzh al-‘aql (menjaga akal) → pajak untuk pendidikan.

4.Hifzh an-nasl (menjaga keturunan) → pajak untuk kesejahteraan keluarga, anak.

5.Hifzh al-māl (menjaga harta) → dengan sistem distribusi adil, mencegah monopoli kekayaan.

Dengan demikian, pajak adalah instrumen ‘maslahah ‘āmmah’ (kepentingan umum).

Pajak berlandaskan filosofi keadilan distributif: kaya membantu miskin, kuat membantu lemah.

Secara nash, Islam mendukung pajak yang adil sebagai perpanjangan dari prinsip zakat, infak, dan kewajiban negara melindungi rakyat.

Secara ekonomi, sistem progresif lebih sejalan dengan keadilan sosial, sedangkan regresif harus dikompensasi lewat subsidi dan program sosial.

Secara kesejahteraan umum, pajak adalah instrumen utama negara modern untuk memastikan tercapainya maqāṣid al-syarī‘ah dan sila ke-5 Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

KESIMPULAN
Demo masyarakat atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menunjukkan bahwa pajak bukan sekadar urusan fiskal, tetapi juga menyangkut rasa keadilan sosial.

Secara historis, upeti pada masa kerajaan hanya berfungsi sebagai simbol kekuasaan, legitimasi politik, dan sumber kekayaan penguasa. Seiring perkembangan peradaban, upeti bertransformasi menjadi pajak yang diatur lebih sistematis, baik dalam masa kerajaan agraris, kesultanan Islam, kolonial Belanda, hingga era modern. Bedanya, pajak tidak lagi berbentuk persembahan simbolik, tetapi kewajiban hukum yang dikelola negara untuk membiayai kepentingan publik.

Filosofi pajak menegaskan peranannya sebagai instrumen keadilan distributif. Pajak bukan hanya pungutan negara, tetapi kontrak sosial antara rakyat dan pemerintah: rakyat membayar pajak, negara menjamin keamanan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umum. Prinsip dasarnya adalah keadilan, pemerataan, dan pembangunan bangsa.

Al-Qur’an menegaskan agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya (QS. Al-Hasyr: 7) dan mendorong pengeluaran sebagian dari hasil usaha untuk kepentingan umum (QS. Al-Baqarah: 267). Rasulullah ﷺ juga mengingatkan bahwa pemimpin adalah pemelihara rakyat, yang bertanggung jawab memastikan distribusi adil.

Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab telah mencontohkan bagaimana kharaj dan jizyah digunakan untuk pembangunan umum dan perlindungan sosial.

Dalam konteks Indonesia, sistem pajak progresif sejalan dengan prinsip keadilan Islam karena beban lebih besar ditanggung oleh yang mampu.

Sementara pajak regresif, seperti PPN, berpotensi menekan masyarakat kecil, sehingga wajib diimbangi dengan subsidi silang dan program sosial agar tetap menghadirkan keadilan.ds. 22082025.

Leave a Reply

News Feed