PENDIDIKAN AGAMA PADA SEKOLAH: Harmonisasi dengan Kerukunan dan HAM
Oleh:
Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Pendahuluan
Pendidikan agama di sekolah merupakan amanat konstitusi sekaligus kebutuhan fundamental bagi pembentukan karakter bangsa. Namun dalam praktiknya, muncul dinamika dan potensi gesekan ketika layanan pendidikan agama bersinggungan dengan keragaman agama peserta didik. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana pendidikan agama dapat berjalan sesuai regulasi, sekaligus menjaga harmonisasi kerukunan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM)?
Landasan Regulasi Pendidikan Agama di Sekolah
1.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pasal 12 ayat (1) huruf a menegaskan bahwa “setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
Hal ini menempatkan pendidikan agama sebagai hak dasar siswa, bukan sekadar fasilitas tambahan.
2.Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan dan Keagamaan
Menjabarkan teknis penyelenggaraan pendidikan agama di satuan pendidikan.
Memberi kejelasan mengenai kewajiban sekolah menyediakan guru agama sesuai agama peserta didik, termasuk di sekolah umum maupun swasta.
3.Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah
Mengatur tata kelola pelaksanaan pendidikan agama di sekolah.
Menyediakan mekanisme penyediaan guru agama melalui koordinasi antara sekolah dengan Kementerian Agama.
Regulasi tersebut menjadi kerangka hukum yang cukup memadai, namun implementasi seringkali menghadapi tantangan teknis, politis, dan sosial.
Isu dan Potensi Konflik
Meskipun landasan regulatif sudah jelas, dalam praktik muncul beberapa indikasi konflik terselubung:
1.Keterbatasan Guru Agama Minoritas
Tidak semua sekolah mampu menyediakan guru agama bagi peserta didik minoritas, sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan.
2.Sekolah Berbasis Keagamaan
Sekolah swasta berbasis agama tertentu kadang menghadapi dilema ketika menerima siswa berlatar agama berbeda.
3.Stereotip dan Diskriminasi Terselubung
Masih terdapat kasus siswa yang mengalami marginalisasi karena agamanya berbeda dengan mayoritas.
4.Ketegangan antara Hak Individu dan Hak Kelembagaan
Terdapat tarik-menarik antara hak siswa mendapatkan pendidikan agama seagama dengan hak sekolah mengelola kurikulum sesuai visi-misinya.
Harmonisasi dengan Kerukunan dan HAM
Agar pendidikan agama tidak menjadi sumber gesekan, perlu pendekatan harmonisasi antara regulasi, kerukunan, dan HAM:
1.Pendekatan Kerukunan
Pendidikan agama harus diarahkan pada pembentukan sikap toleransi aktif dan penguatan moderasi beragama.
Guru agama diharapkan menanamkan nilai persaudaraan (ukhuwah wathaniyah, ukhuwah insaniyah, ukhuwah diniyah) sehingga siswa belajar agama tanpa kehilangan sikap hormat terhadap pemeluk agama lain.
2.Pendekatan HAM
Pendidikan agama adalah hak fundamental setiap siswa, sehingga negara wajib menjamin pemenuhannya.
Prinsip non-diskriminasi harus ditegakkan: tidak boleh ada siswa yang dirugikan hanya karena agamanya minoritas di sekolah.
3.Pendekatan Regulatif
Pemerintah perlu memastikan mekanisme penugasan guru agama minoritas lebih efektif, misalnya dengan sistem “guru kunjung” atau pemanfaatan teknologi digital.
Penguatan koordinasi lintas kementerian (Kemendikbud, Kemenag, dan Pemda) agar layanan pendidikan agama berjalan konsisten.
Rekomendasi
1.Penguatan Implementasi Regulasi
Sosialisasi regulasi pendidikan agama harus lebih massif agar dipahami sekolah, guru, orang tua, dan siswa.
2.Inovasi Layanan Pendidikan Agama
Pemanfaatan pembelajaran daring, modul interaktif, dan kolaborasi lintas sekolah untuk memenuhi hak siswa minoritas.
3.Pelatihan Guru Moderasi Beragama
Guru agama tidak hanya menjadi pengajar materi, tetapi juga agen kerukunan yang mampu membangun suasana kelas inklusif.
4.Monitoring dan Evaluasi oleh Pemerintah
Perlu sistem evaluasi berkala terkait ketersediaan layanan pendidikan agama di sekolah agar tidak ada siswa yang terabaikan.
Penguatan
1.Kerangka Normatif yang Tegas.
Regulasi pendidikan agama di sekolah (UU Sisdiknas 2003, PP 55/2007, PMA 16/2010) sudah menyediakan fondasi kokoh bagi pemenuhan hak setiap siswa. Artinya, perdebatan bukan lagi soal “ada atau tidaknya regulasi”, melainkan bagaimana regulasi tersebut dijalankan secara konsisten, adil, dan adaptif terhadap keragaman lokal.
2.Relevansi dengan Filosofi ABS–SBK.
Di Sumatera Barat, falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS–SBK) menjadi rujukan hidup masyarakat. Filosofi ini mengajarkan keseimbangan antara keimanan, adat, dan kebersamaan sosial. Dengan demikian, pendidikan agama tidak boleh melahirkan sekat, tetapi justru menjadi medium penguatan harmoni adat, syarak, dan bangsa.
3.Urgensi Moderasi Beragama.
Guru agama di Sumbar berperan strategis sebagai agen moderasi. Di daerah yang homogen secara mayoritas Muslim, tantangan bukan hanya pada pemenuhan hak minoritas, tetapi juga memastikan mayoritas tidak jatuh pada sikap eksklusif, intoleran, atau diskriminatif.
Analisis Kontekstual: Isu Kerukunan di Sumatera Barat
1.Tantangan Minoritas Agama.
Meskipun Sumbar dikenal mayoritas Muslim, tetap terdapat komunitas Kristen, Katolik, Buddha, dan penganut kepercayaan. Mereka sering menghadapi kendala terkait layanan guru agama sesuai agama yang dianut. Isu ini bisa menjadi sumber kerentanan kerukunan jika tidak ditangani dengan serius. Regulasi dan kearifan lokal dapat menghentikan kerentanan relasi antar umat lintas agama.
2.Kasus Rumah Ibadah dan Pendidikan.
Di Sumbar, beberapa kali muncul gesekan terkait pendirian rumah ibadah dan layanan keagamaan di sekolah. Hal ini menunjukkan pentingnya pendidikan agama yang berwawasan toleransi aktif, sehingga generasi muda terbiasa menghormati perbedaan sejak dini.
3.Peran FKUB dan Tokoh Agama.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan ormas Islam seperti PERTI, NU, Muhammadiyah, serta lembaga adat memiliki peran besar. Kolaborasi mereka dengan sekolah dan pemerintah daerah dapat menjadi mekanisme efektif untuk memastikan pendidikan agama berjalan harmonis.
4.Konstelasi Sosial Budaya Minangkabau.
Budaya Minangkabau yang egaliter dan musyawarah (bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat) sejalan dengan prinsip HAM dan kerukunan. Jika nilai ini dikontekstualkan dalam pendidikan agama, maka sekolah bisa menjadi ruang inklusif bagi semua anak bangsa.
Pendidikan agama di sekolah di Sumatera Barat bukan hanya kewajiban konstitusi, tetapi juga bagian dari strategi menjaga kerukunan dan memperkuat nilai ABS–SBK. Regulasi yang sudah ada harus dipastikan berjalan efektif, terutama dalam pemenuhan hak siswa minoritas.
Konteks Sumbar yang mayoritas Muslim menuntut sikap toleransi aktif dari guru, sekolah, dan masyarakat agar tidak terjebak pada hegemoni mayoritas dan tidak pula minoritas memaksakan kehendak. Dengan memadukan regulasi, nilai budaya, dan semangat moderasi beragama, pendidikan agama dapat menjadi jembatan rekonsiliasi sosial, penjamin HAM, sekaligus benteng moral bangsa.
Sekolah harus menjadi ruang aman untuk belajar agama sekaligus belajar hidup bersama dalam perbedaan.
Jika hal ini terwujud, Sumatera Barat dapat menjadi model nasional bagaimana pendidikan agama berkontribusi pada kerukunan, keadilan, dan keberlanjutan peradaban bangsa.
Konklusi
Pendidikan agama di sekolah merupakan amanat konstitusi yang tidakApakah Prof ingin saya buatkan versi executive summary 1 halaman (lebih ringkas, poin-poin inti) agar mudah dipresentasikan ke pemerintah daerah atau forum FKUB?
bisa ditawar, sekaligus kebutuhan fundamental untuk membentuk generasi berkarakter. Regulasi yang ada—UU Sisdiknas 2003, PP 55/2007, dan PMA 16/2010—telah memberi jaminan normatif yang kuat, namun tantangan utama justru berada pada tataran implementasi. Keterbatasan guru agama minoritas, dilema sekolah berbasis agama, stereotip, serta tarik-menarik antara hak individu dan kelembagaan, menjadi faktor yang perlu ditangani dengan arif.
Dalam konteks Sumatera Barat, pendidikan agama harus ditempatkan dalam bingkai filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS–SBK).
Falsafah ini mengajarkan keseimbangan antara iman, adat, dan kebersamaan sosial. Pendidikan agama yang berwawasan moderasi beragama dan toleransi aktif dapat mencegah lahirnya hegemoni mayoritas sekaligus menjamin hak-hak minoritas. Guru agama di sini berperan strategis bukan hanya sebagai pengajar materi, tetapi sebagai agen kerukunan yang menanamkan nilai ukhuwah wathaniyah, insaniyah, dan diniyah.
Lebih jauh, pendidikan agama di Sumbar tidak sekadar berfungsi sebagai hak individu, tetapi juga sebagai instrumen kolektif membangun harmoni sosial dan penghormatan HAM.
Melalui inovasi layanan (seperti guru kunjung, digital learning), penguatan kolaborasi lintas lembaga (Kemendikbud, Kemenag, Pemda, FKUB, dan ormas), serta internalisasi nilai musyawarah Minangkabau (bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat), sekolah dapat menjadi ruang aman bagi semua agama untuk tumbuh bersama.
Dengan demikian, pendidikan agama yang berjalan konsisten, adil, dan adaptif akan melahirkan generasi yang beriman, toleran, serta berkarakter inklusif.
Jika Sumatera Barat mampu menjadikan pendidikan agama sebagai jembatan kerukunan, maka provinsi ini berpotensi tampil sebagai model nasional bagaimana pendidikan agama berkontribusi pada persaudaraan, keadilan, dan keberlanjutan peradaban bangsa. Ds.21082025.