Pendidikan Minangkabau dan Regenerasi Tokoh: Sebuah Evaluasi Oleh Dr. H. Afrizen, S.Ag., M.Pd

Artikel Tokoh266 Views

Pendidikan Minangkabau dan Regenerasi Tokoh: Sebuah Evaluasi

Oleh Dr. H. Afrizen, S.Ag., M.Pd

Alumni Doktor Administrasi Pendidikan Universitas Negeri Padang

 

Pada kegiatan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Sumatera Barat tanggal 16 Februari 2025, Yusuf Kalla mengajukan pertanyaan yang menggugah kesadaran masyarakat Minangkabau: “Kemana tokoh Minang?” Dahulu, nama-nama besar dari Ranah Minang seperti Bung Hatta, Buya Hamka, Haji Agus Salim, Sutan Syahrir, dan Rasuna Said mewarnai kancah nasional. Namun, kini tokoh-tokoh Minangkabau mulai kehilangan taji dan peran strategis di tingkat nasional. Fenomena ini menimbulkan refleksi mendalam mengenai sistem pendidikan Minangkabau dan regenerasi kepemimpinan.

Masyarakat Minangkabau sejak dahulu memiliki perhatian tinggi terhadap pendidikan. Konsep “Alam Takambang Jadi Guru” mencerminkan bahwa pendidikan tidak hanya berasal dari sekolah formal, tetapi juga dari kehidupan yang sarat nilai adat dan agama. Pendidikan di Minangkabau sangat erat kaitannya dengan sistem matrilineal yang menempatkan peran mamak (paman dari pihak ibu) dalam membina dan mendidik generasi muda.

Teori pendidikan berbasis kultural dari Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan harus berakar pada budaya masyarakatnya. Dalam konteks Minangkabau, pendidikan tidak hanya sekadar pengajaran akademik, tetapi juga tentang penanaman nilai-nilai kepemimpinan, keberanian, dan tanggung jawab sosial. Hal ini menjelaskan mengapa pada masa lalu, banyak tokoh nasional lahir dari sistem pendidikan adat Minangkabau.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa suku Minangkabau menempati peringkat kedua dalam daftar suku dengan persentase sarjana tertinggi di Indonesia, yaitu 18,00%, hanya terpaut sedikit dari suku Batak dengan 18,02%. Namun, tingginya tingkat pendidikan ini belum sepenuhnya menghasilkan tokoh nasional seperti generasi sebelumnya.

 

Mengapa Tokoh Minang Kian Redup?

1. Perubahan Orientasi Karier

Generasi muda Minangkabau saat ini lebih banyak memilih jalur bisnis dan teknologi dibandingkan politik dan kepemimpinan nasional. Hal ini sejalan dengan teori rasionalitas Weberian yang menjelaskan bahwa pilihan individu dalam kehidupan ekonomi cenderung didasarkan pada efisiensi dan keuntungan maksimal.

2. Kurangnya Dukungan Institusional

Dahulu, ada sistem yang membina calon pemimpin Minangkabau untuk tampil di tingkat nasional, seperti surau sebagai pusat pendidikan dan diskusi. Kini, minimnya ekosistem pembinaan menyebabkan regenerasi kepemimpinan terhambat. Berdasarkan teori institusionalisme, keberlanjutan peran sosial bergantung pada institusi yang menopangnya. Ketika sistem ini melemah, dampaknya terasa pada minimnya tokoh yang muncul.

3. Minimnya Representasi dalam Politik dan Birokrasi

Dominasi tokoh Minangkabau dalam politik nasional semakin menurun. Teori elitis dari C. Wright Mills menyebutkan bahwa struktur kekuasaan ditentukan oleh jaringan elite yang saling menopang. Berkurangnya tokoh Minang dalam lingkaran elite kekuasaan menyebabkan semakin sulitnya regenerasi kepemimpinan.

 

Strategi Regenerasi Kepemimpinan Minangkabau

1. Revitalisasi Pendidikan Berbasis Adat dan Agama

Pendidikan Minangkabau harus kembali memperkuat peran surau sebagai tempat pendidikan karakter dan kepemimpinan. Teori pendidikan karakter dari Thomas Lickona (1991) menekankan pentingnya integrasi nilai moral dalam sistem pendidikan untuk menciptakan pemimpin yang berintegritas.

2. Mendorong Partisipasi Generasi Muda di Dunia Politik dan Kepemimpinan

Harus ada program pembinaan kepemimpinan yang sistematis agar generasi muda Minang lebih tertarik untuk berkiprah di bidang kepemimpinan nasional. Pendekatan ini relevan dengan teori kepemimpinan transformasional dari James MacGregor Burns, yang menekankan pentingnya inspirasi dan motivasi dalam melahirkan pemimpin masa depan.

3. Memperkuat Jejaring dan Mentorship

Tokoh Minangkabau yang sukses di berbagai bidang harus menjadi mentor bagi generasi muda agar mereka memperoleh wawasan dan pengalaman dalam dunia kepemimpinan. Teori sosial dari Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa modal sosial dan jaringan sangat berpengaruh dalam membentuk elite baru dalam masyarakat.

4. Membangun Ekosistem Kepemimpinan Minangkabau

Pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat perlu bekerja sama dalam membangun ekosistem yang mendorong lahirnya lebih banyak pemimpin dari Minangkabau. Teori sistem dari Ludwig von Bertalanffy menunjukkan bahwa sebuah ekosistem sosial yang sehat akan melahirkan individu-individu yang produktif dan berpengaruh.

5. Mempromosikan Peran Generasi Muda Minangkabau

Kisah sukses anak muda Minang seperti Muhammad Iman Usman harus lebih sering diangkat untuk menginspirasi generasi berikutnya. Teori pembelajaran sosial dari Albert Bandura menunjukkan bahwa individu cenderung meniru perilaku dan pola pikir dari tokoh panutan yang mereka lihat dan kagumi.

Pendidikan Minangkabau telah melahirkan banyak tokoh besar di masa lalu, namun kini regenerasi kepemimpinan mengalami tantangan besar. Meski suku Minangkabau memiliki tingkat pendidikan tinggi, perubahan orientasi karier dan minimnya dukungan institusional menyebabkan semakin sedikitnya tokoh yang muncul di panggung nasional.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya sistematis dalam merevitalisasi pendidikan berbasis adat dan agama, membangun jejaring kepemimpinan, serta mendorong generasi muda agar kembali berkiprah di bidang politik dan kepemimpinan nasional. Dengan strategi yang tepat dan berbasis teori, masyarakat Minangkabau dapat kembali melahirkan tokoh-tokoh besar yang berpengaruh di Indonesia.

Ranah Minang pernah menjadi kawah candradimuka para pemimpin besar. Kini, saatnya kita menghidupkan kembali kejayaan itu dan “Mambangkik Batang Tarandam” demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Leave a Reply