PONDASI KARAKTER BANGSA: Melalui Tasawuf, Tarekat dan Tawajuh
Oleh: Duski Samad
Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Imam Bonjol Padang disampaikn pada Tawajuh Akbar Tarekat Naqsabandiyah Sumbar, Riau dan Jambi di Kumpulan, 11 Agustus 2025
Masalah besar yang tengah dihadapi elit, pemimpin dan banyak anak bangsa di era digital ini adalah krisis akhlak dan karakter babgsa. Indonesia sejak awal dikenal bangsa ramah, sopan santun, taat dan memuliakan kemanusiaan seperti yang ditunjukkan oleh adat istiadat dan kearifan lokal suku-suku bangsa.
Dalam menghadapi krisis multidimensi yang melanda bangsa, dari degradasi moral, korupsi struktural, hingga disorientasi nilai di tengah arus globalisasi, maka sangat diperlukan fondasi spiritual yang kokoh. Di sinilah tasawuf, tarekat, dan tawajuh hadir bukan sebagai pelarian eskapis, melainkan sebagai energi transformatif yang membentuk karakter manusia seutuhnya — beriman, berilmu, dan berakhlak.
IHSAN DAN TASAWUF
Tasawuf sebagai dimensi batin dalam Islam, menekankan pentingnya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pembinaan akhlak mulia. Dalam sejarah Islam, tasawuf telah menjadi pilar pendidikan ruhani yang melahirkan tokoh-tokoh besar berjiwa luhur, seperti Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan para ulama Nusantara. Melalui tasawuf, agama tidak berhenti pada syariat formal, melainkan meresap dalam etika, rasa, dan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan dan khalifah di muka bumi.
Tasawuf sebagai pilar sipritual berakar dari ikhtiar menerapkan ajaran Ihsan. Beberapa ayat Al-Qur’an tentang ihsan, konsep utama dalam tasawuf dan pembentukan karakter spiritual:
QS. An-Nahl [16]: 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan…”
Ayat ini menegaskan ihsan sebagai perintah langsung dari Allah setelah keadilan — menunjukkan kedudukan tinggi ihsan dalam tatanan sosial dan spiritual.
QS. Al-Baqarah [2]: 195
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah (ihsan); sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Allah tidak hanya memerintahkan ihsan, tetapi juga mencintai al-muhsinin — orang-orang yang berbuat ihsan.
QS. Al-Qashash [28]: 77
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan berbuat baiklah (ihsan) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…”
Menekankan ihsan sebagai timbal balik atas nikmat Allah, menjadi akhlak hamba yang tahu bersyukur.
QS. Luqman [31]: 14
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ… أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
(dipersingkat) — ihsan kepada orang tua disebutkan juga dalam QS. Al-Ahqaf [46]: 15 dan Al-Isra’ [17]: 23.
QS. Al-Mulk [67]: 2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“…untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya (ahsanu ‘amala).”
Kriteria tertinggi amal bukan sekadar banyak, tetapi paling baik — yakni disertai keikhlasan dan kesesuaian dengan tuntunan syariat.
Ihsan dalam hadis terutama hadis paling terkenal dalam hal ini, yaitu Hadis Jibril tentang Ihsan — Hadis Jibril. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 8) dan Bukhari (No. 50), dari Umar bin Khattab RA:…”Lalu Jibril bertanya kepada Nabi SAW: ‘Khabarkan kepadaku tentang ihsan.’ Nabi menjawab:
أن تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنَّهُ يَرَاكَ
‘(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’
Ihsan adalah tingkat spiritual tertinggi dalam Islam
Ihsan berada di atas iman dan Islam. Ini adalah dimensi batin (tasawuf) dari agama.
Ihsam itu menjadi sadaran ma’rifah (pengawasan Allah). Dalam tasawuf, ini disebut sebagai muraqabah — merasa diawasi dan dilihat Allah dalam setiap tindakan.
Ihsan menumbuhkan akhlak dan keikhlasan. Ihsan membentuk karakter unggul: jujur, sabar, penyayang, dan ikhlas karena merasa selalu dekat dengan Allah.
Ulama Sufi, Ihsan menurut Imam Al-Ghazali Ihsan adalah buah dari mujahadah dan muraqabah, yaitu kesungguhan dalam ibadah dan kesadaran ruhani akan kehadiran Allah.
Ibn ‘Ajibah Ihsan bukan hanya ibadah formal, tapi melibatkan seluruh aspek kehidupan yang diarahkan hanya kepada Allah.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani: Ihsan adalah ketika hati tidak berpaling kepada selain Allah dalam kondisi apa pun.
Ihsan dalam kehidupan bangsa. Ihsan melahirkan
Pemimpin yang amanah.
Pelajar yang jujur dan masyarakat yang saling menyayangi. Bangsa yang beradab dan berkualitas spiritual tinggi
TAREKAT
Tarekat, sebagai jalan sistematis dalam tasawuf, merupakan sarana pendidikan ruhani kolektif yang menanamkan disiplin, ketaatan, dan kesadaran spiritual melalui bimbingan mursyid (guru rohani). Di Minangkabau, tarekat seperti Syattariyah, Naqsyabandiyah, dan Sammaniyah, telah memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat berkarakter kuat, santun, dan tangguh menghadapi zaman. Mereka tidak hanya menjadi ahli ibadah, tetapi juga pejuang kemerdekaan, pendidik, dan penggerak sosial.
Dalil tentang tarekat dalam Al-Qur’an, yang meskipun tidak menyebut kata ṭarīqah secara langsung sebagai istilah teknis tarekat dalam tasawuf, namun mengandung landasan konseptual dan nilai-nilai spiritual yang melandasi eksistensi dan amalan tarekat menurut para ulama sufi:
QS. Al-Ankabut [29]: 69
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami…”
Ulama tasawuf seperti Imam Al-Qusyairi dan Ibn ‘Ajibah memahami ayat ini sebagai isyarat bahwa orang yang melakukan mujahadah (latihan spiritual) akan dibimbing Allah ke jalan-Nya (subulana), yaitu ṭuruq ilā Allāh (jalan-jalan menuju Allah), yang menjadi akar istilah tarekat (ṭarīqah = jalan).
QS. Al-Fatihah [1]: 6–7
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Menurut para sufi, “ash-shirath al-mustaqim” bukan hanya jalan syariat zahir, tapi juga jalan batin menuju ma’rifatullah, yang dilalui dengan tarekat (ṭarīqah ilā Allāh).
QS. Al-Baqarah [2]: 2]
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertakwa.”
Tarekat adalah sarana aktualisasi ketakwaan melalui dzikir, riadhah nafs, dan bimbingan mursyid yang sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an.
QS. Al-Jumu’ah [62]: 2
يُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“…membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah…”
Dalam tasawuf, tazkiyah al-nafs adalah misi utama tarekat — membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela menuju akhlak mahmudah, sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW kepada para sahabat.
QS. An-Nur [24]: 35
يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki…”
Ulama sufi menafsirkan “cahaya” di sini sebagai nur ma’rifah yang dicapai melalui latihan tarekat dengan izin Allah.
Istilah “Ṭarīqah”
Kata ṭarīqah (طريق/طريقة) dalam makna umum jalan atau metode memang disebutkan di berbagai ayat seperti: QS. Al-Mulk [67]: 10: “…kalau saja kami mendengarkan atau menggunakan akal, tentu kami tidak akan termasuk penghuni neraka Sa’ir.”
QS. Al-Maidah [5]: 16: “…dengan itu (Al-Qur’an) Allah menunjukkan kepada orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya jalan-jalan keselamatan.”
Ulama Sufi
Imam Junaid al-Baghdadi menegaskan tarīqah tidaklah menyelisihi syariat, tapi jalan batin untuk memurnikan pelaksanaannya.” Syekh Abdul Qadir al-Jilani: Menggabungkan syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat sebagai satu kesatuan.
TAWAJUH
Dalil dan hakikat tawajuh dalam Al-Qur’an, hadis, dan pandangan ulama tasawuf dan tarekat.
Secara bahasa, tawajuh (تَوَجُّه) berarti menghadapkan diri. Dalam tasawuf dan tarekat, tawajuh adalah konsentrasi total hati kepada Allah dengan menghadirkan kesadaran spiritual yang dalam, sering dilakukan dalam konteks dzikir berjamaah, hubungan ruhani murid dan mursyid, atau saat dzikir khafi (sunyi).
Dalil-Dalil Tawajuh
QS. Al-Baqarah [2]: 186
> فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.”
Tawajuh adalah usaha batin untuk menyadari kedekatan Allah.
QS. Al-A’raf [7]: 205
> وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً…
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut…”
Tawajuh berakar dari dzikir khafi — menghadapkan hati dalam zikir tanpa suara.
QS. Al-Hadid [57]: 16
> أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka kepada dzikir Allah…”
Tawajuh adalah kekhusyukan kalbu yang total dalam menghadirkan Allah di hati.
Hadis Qudsi (Riwayat Bukhari dan Muslim)
> “Aku bersama hamba-Ku apabila ia mengingat-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku…”
Tawajuh menjadikan hati sebagai tempat dzikir dan tajalli (pancaran) Ilahi.
Hakikat Tawajuh menurut Ulama Tasawuf. Imam Al-Ghazali: “Tawajuh adalah kehendak hati yang sepenuhnya tertuju kepada Allah, terlepas dari segala selain-Nya.”
Ibn ‘Ajibah: “Tawajuh adalah permulaan dari fana’, ketika perhatian hati lenyap dari dunia dan hanya terpusat kepada Tuhan.”
Syekh Abdul Qadir al-Jilani:
“Tawajuh adalah jalan hati menuju hadirat Allah, yang tak dicapai dengan akal tapi dengan dzikir dan fana.”
Fungsi dan Tujuan Tawajuh
Khusyu dalam ibadah. Menghadirkan kesadaran penuh akan kehadiran Allah.
Meningkatkan ma’rifat. Membuka jalan menuju pengenalan hakiki terhadap Allah. Tajalli ruhani. Merasakan pancaran cahaya Allah dalam hati. Penguatan rabithah mursyid-murid
Dalam tarekat, tawajuh memperkuat hubungan ruhani dengan guru yang mursyid
Tawajuh, sebagai praktik konsentrasi hati kepada Allah dalam konteks zikir berjamaah atau hubungan ruhani dengan mursyid, menjadi sarana internalisasi nilai-nilai ketuhanan ke dalam hati dan tindakan. Dalam budaya tarekat, tawajuh menumbuhkan kesadaran ilahiah yang membentuk kesabaran, keikhlasan, dan empati sosial. Hal ini sangat relevan untuk membentuk emotional intelligence dan spiritual leadership dalam kehidupan berbangsa.
Dalam konteks pembentukan karakter bangsa, ketiga elemen ini bukan sekadar tradisi spiritual, tetapi juga strategi kultural dan edukatif. Pendidikan karakter yang digembar-gemborkan dalam kurikulum nasional sejatinya sudah dihidupkan oleh dunia tasawuf dan tarekat sejak berabad-abad. Nilai kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, cinta tanah air, dan moderasi—semua itu adalah hasil dari penyemaian batin yang mendalam.
Kini, saatnya negara dan masyarakat memberi ruang yang lebih besar bagi tasawuf dalam arsitektur kebijakan kebudayaan dan pendidikan. Lembaga-lembaga formal perlu membuka diri untuk bersinergi dengan pesantren tarekat, majelis zikir, dan halaqah tasawuf sebagai pusat pembinaan karakter bangsa yang otentik dan berkelanjutan.
Bangsa yang besar bukan hanya yang menguasai teknologi, tetapi juga yang berjiwa luhur, berakhlak mulia, dan memiliki visi hidup yang transenden. Itulah misi tasawuf: membangun manusia paripurna — insan kamil — yang menjadi fondasi bagi peradaban yang bermartabat.
Kesimpulan
Di tengah krisis multidimensi yang menggerus jati diri bangsa—dari disorientasi nilai, degradasi moral, hingga pudarnya keteladanan—tasawuf, tarekat, dan tawajuh tampil sebagai fondasi spiritual yang sangat relevan dan transformatif dalam membangun karakter bangsa. Nilai-nilai ihsan sebagai inti tasawuf—yakni menyembah Allah seakan melihat-Nya—melahirkan pribadi yang jujur, amanah, dan berakhlak mulia. Inilah dasar dari pembentukan manusia seutuhnya: insan beriman, berilmu, dan berperilaku luhur.
Tasawuf bukan sekadar dimensi batiniah, melainkan jalan menuju kesempurnaan hidup (insan kamil), yang memadukan kedalaman spiritual dan etika sosial. Dalam sejarah Islam dan Nusantara, tasawuf melahirkan ulama-ulama besar yang tidak hanya mendidik, tapi juga memimpin dan membebaskan umat dari keterbelakangan, melalui pendidikan ruhani yang konsisten dan penuh kesadaran ilahiyah.
Tarekat, sebagai metode sistematis dalam pembinaan spiritual, memperkuat orientasi batin seseorang untuk terus mujahadah dalam mencapai ridha Ilahi. Dalam konteks Minangkabau dan Indonesia, tarekat telah membuktikan dirinya sebagai pusat kaderisasi moral dan kepemimpinan umat—melahirkan sosok-sosok santun, tahan uji, dan berjiwa sosial tinggi.
Tawajuh, sebagai praktik konsentrasi hati kepada Allah, menghadirkan pengalaman ruhani yang memperkuat kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah sarana pembentukan emotional intelligence dan spiritual leadership—yang sangat dibutuhkan dalam membangun peradaban bangsa yang beradab, inklusif, dan tangguh secara moral.
Ketiganya: Tasawuf, Tarekat, dan Tawajuh, adalah pilar spiritual yang secara historis telah membentuk bangsa Indonesia menjadi bangsa yang ramah, santun, dan memiliki relasi sosial yang harmonis. Kini, dalam menghadapi arus globalisasi dan digitalisasi yang mengikis nilai luhur, sudah saatnya tasawuf tidak hanya diposisikan sebagai warisan spiritual, tetapi juga sebagai arsitektur kebijakan kultural dan pendidikan nasional.
Pendidikan karakter sejati hanya dapat ditanamkan melalui pendekatan batiniah yang mendalam—dan tasawuf telah menjalankannya jauh sebelum konsep itu dimasukkan ke dalam kurikulum formal. Maka, pesantren tarekat, majelis zikir, dan halaqah-halaqah tasawuf perlu diintegrasikan ke dalam sistem pembinaan masyarakat dan negara.
Akhirnya, membangun bangsa bukan sekadar urusan teknologi dan pembangunan fisik, melainkan mencetak manusia paripurna yang memiliki arah hidup, kedalaman ruhani, dan kepekaan sosial. Insan kamil—manusia yang mengenal Tuhannya, mencintai sesamanya, dan membangun peradaban dengan akhlak—itulah cita-cita luhur tasawuf untuk Indonesia.ds.113072025