RESILIENSI DALAM KETIDAKPASTIAN: PANDUAN HIDUP BERDASARKAN AL-QUR’AN Oleh: Duski Samad

Artikel Tokoh151 Views

RESILIENSI DALAM KETIDAKPASTIAN:

PANDUAN HIDUP BERDASARKAN AL-QUR’AN

Oleh: Duski Samad

Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang

Nuzul Qur’an Masjid Al Maghfirah Lubuk Buaya, Ahad, 16 Maret 2025

 

Resiliensi dalam Ketidakpastian membahas kemampuan individu, kelompok, atau masyarakat dalam menghadapi perubahan, krisis, dan ketidakpastian dengan tetap bertahan dan beradaptasi. Dalam kajian ilmiah, resiliensi mencakup aspek psikologis, sosial, dan spiritual yang memungkinkan seseorang mengembangkan strategi coping (mekanisme penanggulangan) yang efektif.

Di tengah ketidakpastian, resiliensi menjadi faktor kunci dalam menjaga keseimbangan emosional dan mengambil keputusan yang rasional. Kajian ini dapat mencakup perspektif dari psikologi, sosiologi, filsafat, hingga kajian keagamaan, yang menyoroti bagaimana nilai-nilai, keyakinan, dan pengalaman dapat memperkuat daya tahan individu dan komunitas dalam menghadapi tantangan yang tidak terduga. Kajian ini menyoroti ketahanan diri dalam pandangan al-Qur’an.

Peringatan Nuzulul Qur’an 17 Ramadhan 1446 H/16 Maret 2025 tahun ini ditengah kehidupan yang maju dari segi fisik, material dan ilmu pengetahuan, namun harus diakui mundur kebelakang dari aspek kepatuhan pada norma dan nilai Islam, hukum, budaya dan peradaban. Bagi umat Islam situasi sosial dan keadaan apapun tentu akan kembali pada kitab sucinya la raiba fihi, dan huddan linnas.

Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi umat Islam yang memberikan solusi dalam menghadapi berbagai bentuk ketidakpastian, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun spiritual. Al-Qur’an adalah solusi dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Dengan membaca, memahami, dan mengamalkannya, seseorang akan mendapatkan petunjuk, ketenangan, dan jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi. Rasulullah ﷺ juga mengajarkan doa dan dzikir sebagai cara untuk mengatasi kebingungan dan kecemasan. Para ulama dan ilmuwan pun sepakat bahwa Al-Qur’an memberikan jawaban bagi kehidupan manusia di segala zaman.

Al-Qur’an sebagai petunjuk dan solusi dalam hidup”Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, kemudian kulit dan hati mereka menjadi lembut untuk mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.”(QS. Az-Zumar: 23). Al-Qur’an memberi ketenangan di tengah ketidakpastian. “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”(QS. Ar-Ra’d: 28).

Hadis menyatakan bahwa Al-Qur’an sebagai solusi dan cahaya petunjuk Rasulullah ﷺ bersabda:”Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah jamuan Allah, maka terimalah jamuan-Nya sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah tali Allah, cahaya yang nyata, dan penyembuh yang bermanfaat…”(HR. Ad-Darimi). Rasulullah mengajarkan doa untuk menghadapi ketidakpastian dan kegelisahan Rasulullah ﷺ bersabda:”Tidak ada seorang pun yang ditimpa kegundahan dan kesedihan lalu ia berdoa: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan. Ubun-ubunku ada dalam genggaman-Mu, hukum-Mu berlaku padaku, takdir-Mu adil padaku. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang telah Engkau tetapkan pada diri-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu, atau yang hanya Engkau sendiri yang mengetahui dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan Al-Qur’an sebagai pelipur hatiku, cahaya dadaku, penghilang kesedihanku dan pelenyap kegundahanku,’ melainkan Allah akan menghilangkan kesedihannya dan menggantikannya dengan kegembiraan.”(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).

Ulama menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah solusi dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an akan membawa ketenangan dalam hati serta menjauhkan seseorang dari kebingungan dan ketidakpastian. Syaikh Ibn Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah pedoman bagi setiap individu yang ingin keluar dari kegelapan menuju cahaya kebenaran.

Ilmuwan Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan hanya sekadar kitab suci, tetapi juga pedoman hidup yang memberikan solusi dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, dan psikologi. Dr. Zakir Naik sering mengemukakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan zaman, termasuk dalam menghadapi kebingungan dan ketidakpastian hidup.

AL QUR’AN MENGHADAPI KETIDAKPASTIAN

Al-Qur’an menjawab tantangan zaman, termasuk kebingungan dan ketidakpastian hidup, dengan berbagai cara yang relevan untuk setiap generasi. Al-Qur’an menjawab tantangan zaman dengan menjadi pedoman hidup yang menyeluruh. Ia memberikan keteguhan hati, mendorong pemikiran ilmiah, menegakkan keadilan sosial, membimbing moralitas, serta mengajarkan kesabaran dan harapan.

Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an, manusia dapat menghadapi kebingungan dan ketidakpastian hidup dengan keyakinan dan ketenangan.

Cara Al-Qur’an menjadi solusi dalam menghadapi tantangan zaman sebagai Pedoman Hidup (Hudan li an-Nas), “Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang benar dan yang batil).”(QS. Al-Baqarah: 185). Al-Qur’an memberikan bimbingan dalam semua aspek kehidupan, baik spiritual, sosial, ekonomi, maupun politik, sehingga dapat menjadi solusi dalam menghadapi perubahan zaman.

Dalam menghadapi ketidakpastian hidup, manusia sering merasa gelisah dan kehilangan arah. Al-Qur’an mengajarkan bahwa dengan mengingat Allah dan bersandar kepada-Nya, hati akan menjadi tenang. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28). Selain itu, Al-Qur’an mengajarkan sikap tawakal (berserah diri kepada Allah) setelah berusaha, sebagaimana dalam QS. Ali ‘Imran: 159.

Al-Qur’an mendorong manusia untuk berpikir, meneliti, dan menggunakan akal dalam memahami dunia. Banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk mengamati alam dan menggali ilmu pengetahuan.”Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi’.”(QS. Yunus: 101). Banyak penemuan ilmiah modern yang sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti perkembangan embrio (QS. Al-Mu’minun: 12-14) dan konsep peredaran benda langit (QS. Al-Anbiya: 33).

Dalam menghadapi perubahan sosial, Al-Qur’an memberikan panduan tentang keadilan, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat…”(QS. An-Nahl: 90). Dengan prinsip ini, Al-Qur’an memberikan pedoman dalam menyelesaikan konflik sosial, memperjuangkan hak-hak manusia, dan menciptakan kesejahteraan.

Di era modern, banyak manusia menghadapi krisis moral dan kehilangan makna hidup. Al-Qur’an mengajarkan nilai-nilai moral, seperti kejujuran, kesabaran, dan kesederhanaan. “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”(QS. Asy-Syams: 9-10). Dengan mengikuti ajaran Al-Qur’an, manusia dapat menemukan arah hidup yang jelas dan menghindari kehampaan spiritual.

Al-Qur’an memberikan motivasi untuk tetap optimis dalam menghadapi ujian dan tantangan hidup.”Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”(QS. Al-Insyirah: 6). Prinsip ini membantu manusia untuk tidak mudah menyerah dan selalu berusaha mencari solusi dalam menghadapi tantangan zaman.

Al-Quran memberikan membimbing penguasa agar mengunakan kekuasaan untuk menegakkan keadilan dan mengendalikan masyarakat dari kerusakan yang ditimbulkan hawa nafsu yang terlalu diikuti kehendaknya seperti yang dijelaskan dalam Surah Shad (38) Ayat 26 “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan (hukum) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan.

Tafsir klasik Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah perintah Allah kepada Nabi Daud AS sebagai seorang pemimpin dan hakim di Bani Israil. Allah menegaskan bahwa seorang pemimpin harus memutuskan hukum dengan keadilan dan tidak boleh terpengaruh oleh hawa nafsu, karena hal itu akan menjauhkannya dari jalan Allah.

Ibnu Katsir juga menyebutkan kisah Nabi Daud AS yang mendapat teguran dari Allah ketika memutuskan perkara antara dua pihak sebelum mendengar argumen dari kedua belah pihak secara seimbang (QS. Shad: 21-25). Hal ini menjadi pelajaran bagi setiap pemimpin untuk selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Tafsir Al-Thabari menafsirkan bahwa Allah menjadikan Nabi Daud AS sebagai khalifah, yaitu pemimpin yang menggantikan orang-orang sebelumnya dalam urusan dunia. Kewajiban utama seorang khalifah adalah menegakkan keadilan. Ia menekankan bahwa mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum dapat membawa seseorang kepada penyimpangan dan kebinasaan.

 

Al-Qurtubi menyoroti bahwa ayat ini mengandung prinsip-prinsip penting dalam pemerintahan Islam, seperti: Keadilan dalam memutuskan hukum. Larangan mengikuti hawa nafsu dalam kepemimpinan. Ancaman bagi mereka yang menyimpang dari hukum Allah. Ayat ini menjadi dasar bagi konsep kepemimpinan Islam yang berbasis keadilan dan pertanggungjawaban di akhirat.

Tafsir Kontemporer, Fi Zilalil Qur’an. Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai prinsip utama dalam kepemimpinan Islam. Ia menekankan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan keadilan berdasarkan hukum Allah. Ia juga menyoroti bagaimana hawa nafsu dapat merusak keadilan dalam sistem hukum dan pemerintahan.

 

Tafsir al-Munir Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini menekankan tanggung jawab pemimpin dalam menegakkan keadilan. Menurutnya, dalam konteks modern, ayat ini dapat diterapkan dalam sistem peradilan dan politik, di mana pemimpin harus bertindak adil, transparan, dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok.

Tafsir Muhammad Abduh. Muhammad Abduh melihat ayat ini sebagai peringatan bagi pemimpin dalam masyarakat modern. Ia menegaskan bahwa sistem hukum harus berdasarkan keadilan yang objektif, bukan kepentingan pribadi atau golongan. Dalam konteks demokrasi, ayat ini menekankan pentingnya pemimpin yang berintegritas dan menjunjung tinggi hukum yang adil. Ayat ini sangat relevan dalam konteks kepemimpinan, hukum, dan etika sosial, baik di zaman Nabi Daud AS maupun di era modern ini.

PENDIDIKAN DIRI (TARBIYAH AL DZATIYAH)

Pendidikan diri adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan untuk membentuk karakter, meningkatkan ilmu, serta memperkuat jati diri seseorang. Hakikat pendidikan diri berkaitan erat dengan keteguhan diri, yaitu kemampuan seseorang untuk tetap teguh pada prinsip, nilai, dan tujuan hidupnya meskipun menghadapi berbagai tantangan.

Hakikat Pendidikan Diri. Kesedaran dan Keinsafan Diri. Pendidikan diri bermula dari kesedaran individu tentang pentingnya ilmu dan perkembangan peribadi. Keinsafan akan kekuatan dan kelemahan diri mendorong seseorang untuk terus memperbaiki diri. Pembelajaran Berterusan. Ilmu tidak hanya diperoleh dari sekolah atau universiti, tetapi juga dari pengalaman hidup, bacaan, dan refleksi diri. Pendidikan diri adalah perjalanan sepanjang hayat yang membantu seseorang menjadi lebih matang dan bijaksana.

Pembentukan Karakter dan Jati Diri. Pendidikan diri membantu membangun sifat-sifat positif seperti disiplin, integriti, dan kejujuran. Ia juga memperkukuh identiti dan keyakinan diri agar tidak mudah terpengaruh oleh anasir negatif. Penguasaan Ilmu dan Kemahiran. Pendidikan diri membolehkan seseorang mengembangkan kemahiran dalam pelbagai bidang, termasuk komunikasi, kepimpinan, dan penyelesaian masalah. Dengan ilmu yang kukuh, seseorang dapat membuat keputusan yang lebih baik dan bertanggungjawab terhadap hidupnya.

Keteguhan Diri melalui Pendidikan Diri. Keteguhan Prinsip dan Nilai Hidup. Orang yang berpendidikan diri memiliki prinsip hidup yang kukuh dan tidak mudah terpengaruh oleh godaan atau tekanan. Nilai-nilai murni seperti kejujuran, kesabaran, dan kesederhanaan menjadi pegangan hidup. Kemandirian dan Kecekalan. Pendidikan diri melahirkan individu yang berdikari, tidak bergantung kepada orang lain untuk mencapai kejayaan. Mereka juga cekal menghadapi cabaran dan tidak mudah berputus asa.

Keupayaan Menyesuaikan Diri. Dunia sentiasa berubah, dan pendidikan diri membantu seseorang untuk terus belajar dan menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Seseorang yang mempunyai keteguhan diri tidak akan mudah goyah walaupun menghadapi perubahan yang besar. Keseimbangan Emosi dan Mental. Pendidikan diri membantu seseorang mengawal emosi dan berfikir secara rasional dalam setiap situasi. Ia juga membina ketahanan mental, menjadikan seseorang lebih tenang dan fokus dalam menghadapi tekanan hidup.

Pendidikan diri adalah kunci kepada keteguhan diri. Dengan terus belajar, memperbaiki diri, dan memegang teguh kepada nilai-nilai positif, seseorang dapat menghadapi cabaran hidup dengan lebih yakin dan bijaksana. Keteguhan diri bukan sahaja membantu individu mencapai kejayaan peribadi tetapi juga memberi sumbangan kepada masyarakat dan negara.

Analisis Ilmiah terhadap narasi “Al-Qur’an Solusi dalam Ketidakpastian”. Narasi ini menyoroti peran Al-Qur’an sebagai solusi dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Analisis ilmiah terhadap narasi ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu pendekatan teologis, historis, filosofis, dan psikologis.

1.Pendekatan Teologis. Pendekatan ini menilai narasi berdasarkan konsep dasar Al-Qur’an sebagai kitab suci dalam Islam. Al-Qur’an sebagai Petunjuk (Hudan li an-Nas)

Al-Qur’an disebut sebagai sumber bimbingan dan solusi dalam berbagai aspek kehidupan, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah: 185 dan QS. Az-Zumar: 23. Ini sesuai dengan konsep dalam studi Islam bahwa kitab suci bukan hanya sebagai teks spiritual tetapi juga sebagai pedoman sosial dan hukum. Ayat-Ayat tentang Ketenangan Hati dari QS. Ar-Ra’d: 28 menegaskan bahwa zikir dan pemahaman terhadap wahyu dapat mengurangi kecemasan dan ketidakpastian. Ini diperkuat oleh hadis Nabi yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah cahaya dan penyembuh bagi hati yang gelisah. Pendapat Ulama Pemikiran Imam Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, dan Yusuf Al-Qaradawi yang dikutip menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, Al-Qur’an selalu dipahami sebagai solusi bagi kehidupan manusia, termasuk dalam menghadapi kebingungan dan perubahan sosial. Dari perspektif teologis, narasi ini konsisten dengan ajaran Islam dan menunjukkan bagaimana pemahaman terhadap wahyu bisa menjadi solusi dalam kehidupan manusia.

2.Pendekatan Historis. Pendekatan ini melihat bagaimana konsep yang disampaikan dalam narasi telah diterapkan dalam sejarah Islam. Al-Qur’an dalam Peradaban Islam

Sepanjang sejarah, umat Islam menghadapi berbagai bentuk ketidakpastian seperti perang, krisis ekonomi, dan pergolakan sosial. Dalam banyak kasus, mereka mengacu pada Al-Qur’an untuk menemukan solusi, misalnya dalam sistem pemerintahan Islam klasik (Khilafah), hukum Islam, dan etika perdagangan. Tantangan Modern.

Narasi ini juga menyoroti kemunduran moral meskipun terjadi kemajuan teknologi. Fenomena ini dapat dibandingkan dengan kemunduran moral di era Abbasiyah akhir, ketika ilmu pengetahuan berkembang tetapi terjadi korupsi politik dan kemerosotan etika sosial. Analisis historis menunjukkan bahwa peran Al-Qur’an sebagai solusi bukan sekadar teori, tetapi telah menjadi praktik dalam sejarah peradaban Islam.

3.Pendekatan Filosofis. Pendekatan ini mengkaji bagaimana konsep dalam narasi ini sejalan dengan pemikiran filosofis. Eksistensialisme dan Makna Hidup. Filsafat eksistensialisme menyatakan bahwa manusia menghadapi “kekosongan” dan “kecemasan eksistensial” saat menghadapi ketidakpastian. Narasi ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberikan makna hidup, yang dalam filsafat dikenal sebagai logoterapi (Viktor Frankl)—yaitu pencarian makna sebagai obat bagi kecemasan. Epistemologi dan Sumber Kebenaran. Dalam filsafat Islam, Al-Qur’an dipahami sebagai sumber ilmu yang lebih tinggi dari akal manusia. Ibn Sina dan Al-Farabi berpendapat bahwa wahyu memberikan pengetahuan absolut yang tidak bisa dicapai hanya dengan akal. Narasi ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tanpa panduan wahyu dapat membawa kebingungan moral. Pendekatan filosofis mendukung argumen dalam narasi bahwa Al-Qur’an bisa menjadi solusi bagi manusia yang mengalami ketidakpastian hidup.

4.Pendekatan Psikologis. Pendekatan ini melihat bagaimana Al-Qur’an memberikan solusi psikologis bagi individu yang mengalami kecemasan dan ketidakpastian. Efek Psikologis Membaca Al-Qur’an. Studi dalam neuropsikologi menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an atau mendengarkannya dapat menurunkan stres dan kecemasan. Hal ini sejalan dengan QS. Ar-Ra’d: 28, yang menyebutkan bahwa mengingat Allah dapat menenangkan hati.

Doa dan Tawakal sebagai Terapi Kecemasan. Hadis Nabi yang menyarankan doa untuk menghadapi kegundahan (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban) menunjukkan bahwa spiritualitas dapat berfungsi sebagai strategi koping (coping strategy) dalam menghadapi stres.

Psikologi Positif dan Harapan. Dalam QS. Al-Insyirah: 6, disebutkan bahwa “sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” Konsep ini sejalan dengan teori psikologi positif (Martin Seligman) yang menekankan pentingnya harapan dan optimisme dalam menghadapi tantangan hidup. Dari perspektif psikologi, narasi ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki manfaat terapeutik bagi individu yang mengalami ketidakpastian dan stres. Narasi ini tidak hanya bernilai religius tetapi juga memiliki dasar ilmiah yang kuat dalam bidang sejarah, filsafat, dan psikologi.

Narasi “Al-Qur’an Solusi dalam Ketidakpastian” menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah sumber petunjuk dan ketenangan dalam menghadapi tantangan hidup, baik dari sisi spiritual, sosial, maupun psikologis. Melalui berbagai dalil Al-Qur’an, hadis, serta pandangan ulama dan ilmuwan, terbukti bahwa Al-Qur’an memberikan solusi dalam menghadapi kebingungan dan perubahan zaman.

 

Pendekatan teologis menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah sumber pedoman hidup yang otoritatif. Pendekatan historis membuktikan bahwa umat Islam telah menjadikannya sebagai panduan dalam berbagai situasi krisis. Pendekatan filosofis menguatkan bahwa Al-Qur’an memberikan makna hidup dan membimbing akal manusia agar tidak tersesat dalam relativitas moral. Sementara itu, pendekatan psikologis membuktikan bahwa membaca dan mengamalkan Al-Qur’an dapat memberikan ketenangan dan meningkatkan ketahanan mental.

Dengan demikian, di tengah era modern yang penuh ketidakpastian, kembali kepada Al-Qur’an adalah solusi utama bagi umat Islam. Dengan membaca, memahami, dan mengamalkan ajarannya, manusia dapat menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan, ketenangan, dan petunjuk yang benar.