TEROR DI MEKKAH, 1979
Oleh: Azwirman,S.Pd
PENDAHULUAN
Cuplikan peristiwa:
Pada pagi buta seusai sholat subuh, 20 November 1979, Masjidil Haram yang selama berabad-abad selalu dalam keadaan aman dan kondusif, dikejutkan oleh suara letusan dari senjata api yang menyalak memuntahkan isi perutnya dengan peluru-peluru tajam ke segala penjuru. Jemaah mesjid yang berjumlah lebih kurang 15.000 orang sejak malam disandera oleh kelompok yang dipimpin oleh seorang mantan tentara kerajaan Saudi, dialah yang bernama Juhaiman Al Otaybi. Dan suara-suara tembakan di pagi buta itu adalah baku tembak antara polisi kerajaan Saudi dengan kelompok Juhaiman, terutama berasal dari menara menara mesjid yang sudah dikuasai oleh Juhaiman.
Suasana mencekam, pekik tangis dan air mata serta teriakan takbir menggema di setiap sudut mesjid. Wajah-wajah cemas dan ketakutan membayang di antara jemaah yang tersandera. Pemerintahan Arab Saudi dibawah raja Khalil melakukan langkah cepat. Dengan terlebih dahulu melakukan kesepakatan dengan para ulama dan tokoh Saudi, maka berkat bantuan dari pasukan khusus dari Perancis dan Pakistan para pemberontak berhasil di ringkus dan Juhaiman, Pada tahun 1980 dihukum mati berikut para pengikutnya.
LATAR BELAKANG
Kisah bermula dari negara Tetangga, Iran. Awal abad 20 setelah Utsmaniyah tumbang, pada tahun 1924 resmi secara administrasi. Inggris dan Perancis membawahi wilayah Timur Tengah. Mereka sudah membagi bagi kekuasaan di sana lewat perjanjian Sykes Picot, ini dikarenakan sekutu menang perang dunia kesatu. Iran yang pada waktu itu dibawah kekuasaan Inggris melakukan ekplorasi dan eksploitasi cadangan minyak di sana, Alhasil Iran kaya akan minyak. Hal ini membuat Kerajaan Saudi tidak mau kalah dengan saingan lamanya itu. Maka, pada tahun 1938 AS berhasil menemukan cadangan minyak terbesar di perbatasan Iran, setelah tiga tahun yang melelahkan dengan mengundang ahli-ahli dari luar (asing) untuk Melakukan eksplorasi dan produksi minyak bumi.
Dengan ditemukannya minyak yang besar, babak baru Arab Saudi dimulai. Presiden AS, Franklin D Roosevelt yang didampingi raja Arab Saudi waktu itu, Abdul Aziz bin Saud melakukan sebuah bentuk kerja sama yang saling menguntungkan.
1. Arab Saudi membiarkan AS melakukan eksploitasi dan produksi minyaknya di negaranya dengan syarat: AS bersedia membantu dan memperbaiki perekonomian Arab Saudi terutama kerajaan Saudi. Dengan ini, sebuah kesepakatan langka terjadi, Monarki absolut bekerja sama dengan Kapitalisme.
Sejak saat itu, Kerajaan Arab Saudi yang selama ratusan tahun bersifat konservatif terutama dalam menerapkan ajaran agama Islam mulai tergerus dan tergusur oleh Infiltrasi budaya Barat yang dibawa oleh puluhan ribu pekerja asing terutama dari Amerika serikat.
Tempat tempat hiburan seperti Bar, club-club’ malam menjamur dibeberapa tempat. Bahkan kerajaan Arab Saudi mengizinkan sebuah lokasi yang disulap menjadi kota selayaknya Las Vegas. Masyarakat lokal yang terbiasa dengan kehidupan yang Islami perlahan-lahan mulai terpengaruh oleh kehidupan dan budaya Barat. Hal ini terjadi hingga tahun 1970-an. Apalagi sejak tahun 1964, Raja Faisal waktu itu menggunakan kekayaan untuk pendidikan kesetaraan antara pria dan wanita, membebaskan para wanita untuk berkegiatan diluar, memberikan hak-hak wanita seluas-luasnya. Hingga yang dikhawatirkan oleh ulama-ulama Saudi Arabia pun sedang terjadi. Arab Saudi, terutama kerajaan Saudi sudah mulai tidak memperhatikan Islam dan ajaran Islam, justru yang terjadi malah sebaliknya, Budaya Barat didukung habis-habisan, dengan hidup berfoya-foya, harta kekayaan yang semakin menumpuk, yang dibuktikan dengan kehidupan hedonis petinggi petinggi pemerintah.
Melihat hal ini, seorang ulama terkemuka waktu itu, Abdul Aziz bin Baz atau lebih dikenal dengan panggilan Syeikh bin Baz, rektor Universitas Islam Madinah, memutuskan untuk mendirikan gerakan (kelompok pengajian) yang lebih dikenal dengan julukan salafi. Beliau dan para ulama lainnya bukan berarti tidak mengerti akan kondisi Kerajaan Arab Saudi, akan tetapi mereka lebih memilih untuk tidak melakukan hal-hal yang menimbulkan perpecahan. Sebab tantangan yang dihadapi oleh kerajaan Arab Saudi bukan hanya internal, seperti kritikan tajam para ulama yang menginginkan Arab Saudi steril dari budaya barat akan tetapi juga sekutu-sekutunya seperti Mesir, Yaman dan Irak kerajaannya sudah berhasil digulingkan oleh kelompoknya Pan-Arabisme yang beraliran sosialisme (Ba’at isme) jika perpecahan terjadi maka, Arab Saudi akan melemah dan bisa saja pengaruh Ba’at isme masuk dan mengkudeta Kerajaan Arab Saudi. Di sisi lain, Sosialisme yg dipelopori oleh Soviet dengan dukungannya dan tanpa Amerika serikat akan sulit untuk dibendung.
AS yang sudah mendirikan pangkalan militer nya di beberapa titik kawasan Arab Saudi tentu saja disamping melindungi Arab Saudi, juga tidak ingin pengaruh Komunis masuk ke Arab Saudi.Sisi lain, gerakan salafi yang didirikan oleh Syeikh bin Baz mengajar kan Islam secara mendasar (fundamental) menarik banyak orang untuk mengikuti kajian nya. Ceramah ceramah Syeikh bin Baz diikuti oleh ribuan jamaah. Beliau memang punya reputasi yang tinggi waktu itu, sebab beliau rektor universitas Islam Madinah, punya wewenang untuk mengeluarkan fatwa.
Salah seorang murid beliau, seorang mantan tentara pasukan garda Nasional Arab Saudi bernama Juhaiman Al Otaybi. Karena berpengalaman dalam mengamankan keluarga kerajaan Arab Saudi, ia juga punya pengaruh yang cukup kuat di militer Arab Saudi. Otomatis juga punya pengikut yang cukup banyak. Demi melihat dan mendengar ceramah ceramah dari gurunya, Syeikh bin Baz membuat hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu dengan alasan:
1. Kenapa kerajaan Arab Saudi berfoya-foya dengan negara kafir (AS) yang seharusnya melindungi Islam.
2. Mengapa warga Arab Saudi mengikuti gaya Barat?
3. Kenapa gurunya dan para Syeikh lainnya tidak melakukan apa-apa?
Perasaan yang sedemikan membuat ia memutuskan untuk memonitor kekuatan untuk melakukan sesuatu yang menggoncang Arab Saudi dan dunia Islam. Melakukan pengepungan dan penyerangan ke jantung pertahanan umat Islam yaitu, Masjidil Haram. Maka, singkat cerita, terjadi lah insiden sebagai mana yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini.
Tujuan dilakukannya aksi nekad sebagaimana yang sudah dijelaskan diawal adalah:
1. Usir semua warga asing
2. Hentikan semua perdagangan dengan dunia Barat
3. Tumbangkan kerajaan Arab Saudi yang gagal melindungi Islam
Syeikh bin Baz demi melihat ini, memiliki kesempatan untuk melakukan Negosiasi dengan pihak kerajaan, yang pihak kerajaan pun sejak awal sudah memberikan isyarat akan meminta bantuan ke pihak Ulama-ulama waktu itu. Terutama ulama Saudi.
Maka hasil kesepakatanpun membuahkan hasil, diantaranya: “Kerajaan Saudi dipersilahkan untuk menyerang dan menangkap Juhaiman Al Otaybi hidup atau mati dengan syarat: Kerajaan Arab Saudi harus kembali merevisi kebijakan nya terhadap Islam.” Sejak saat itu Arab Saudi kembali melakukan babak baru, Era baru, bukan sebagai mana era dimana Budaya Barat bebas menginfiltrasi masyarakat di awal Penemuan minyak 1938, akan tetapi Arab Saudi sebagai mana sebelumnya. Yaitu; Pengetatan kembali peran perempuan yang sebelumnya dilonggarkan. Misal, dilarang nyetir mobil, wajib menutup aurat, dilarang tampil di televisi, Bisnis hiburan serta bioskop ditutup, polisi moral dimaksimalkannya tugasnya dan lain sebagainya.
Dari sini kita lihat latar belakang dan sejarah berdirinya kerajaan Arab Saudi (Keluarga Suud, Saudi) dan apa pula hubungan nya dengan Ulama dan tokoh Islam dari Jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahhab.
Tidak di cerita kan secara detail disini, sebab sejarah berdirinya kerajaan Saudi punya cerita yang sangat panjang dan kompleks. Untuk lebih jelasnya bisa dicari referensi nya, bisa buku, artikel-artikel, video ceramah juga ada.
Apa hubungannya pendirian Kerajaan Saudi dengan Muhammad bin Abdul Wahhab?
Istilah “Wahhabi” kurang tepat di alamat kan kepada Beliau dan murid muridnya yang hingga sampai sekarang ini begitu gencar dan makin memanasnya perdebatan seputar “Wahabbi” ini. Sebab; Pertama, mereka yang dituduh Wahabbi itu tidak pernah mendeklarasikan mereka adalah Wahabbi (Salafi Wahabi) Kedua, Konteks Politik Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari peran dan dominasi kaum Shi’I (syiah), musuh ideologis dan politik dari Shi’i adalah Kerajaan Arab Saudi (KSA), mereka menggelari ulama Saudi dengan sebutan “Wahhabi”. Jadi sekedar mengingatkan saja agar jangan latah dengan memakai mulut dan bahasa musuh untuk menghantam saudara yang barangkali masih seaqidah. Ketiga, sesama kelompoknya yang kita tuduh “Wahhabi” itu bahkan mereka saling membid’ahkan, sampai ke tingkat mengkafirkan. Bisa saja, Neo Khawarij berkamuflase ke dalam kelompok “Wahhabi”.
Tahun 1750-an cikal bakal kerajaan Saudi sudah menampakkan tanda-tanda nya, namun perpecahan, perang dan perebutan kekuasaan kerap terjadi. Maklum saja, sebab Bukan Mekkah dan Madinah sebagai poros kekuatan nya berasal akan tetapi dari wilayah timur Hijaz yaitu, Nejef. Sebuah kawasan kering dan gurun pasir berbatu-batu, jauh dari peradaban dan perkotaan (Hijjaz) masih Nomaden.
Tahun 1804 Muhammad bin Abdul Wahhab lahir. Ayahnya seorang ulama terkemuka juga waktu itu. Menginjak dewasa, Muhammad bin Abdul Wahhab begitu terpengaruh oleh pemikiran Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang hidup dimasa kecamuk perang salib dan serbuan Mongol di kawasan Syam. Ibnu Taimiyah seorang pembaharu, beliau selalu menyerukan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” sebab konteks situasi ketika itu, dunia Islam dalam situasi kacau balau dan perpecahan. Peradaban Islam yang berpusat di Baghdad runtuh dan hancur oleh serbuan tentara Mongol, Negeri-negeri muslim juga banyak bernasib sama, sisi lain ancaman pasukan Salib sewaktu waktu bisa mengancam umat Islam. Makanya, beliau (Ibnu Taimiyah) kerap ikut bertempur dan berjihad melawan Mongol dan Pasukan Templar. (Untuk lebih jelas nya silahkan cari literatur tentang sosok Ibnu Taimiyah. Penulis produktif, cerdas, banyak pengikut, sering masuk penjara karena selalu bertentangan dengan penguasa waktu itu). Inspirasi Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap Ibnu Taimiyah ditentang oleh ayahnya. Pada umumnya Ulama ulama lain tidak menyukainya pada waktu itu. Dengan konsep ala Ibnu Taimiyah yang ingin digagasnya kembali. Namun, justru Pihak keluarga Suud justru mendukungnya. Tentu dukungannya bukan karena kepentingan Islam namun lebih ke politik.
Singkatnya, kesepakatan kedua belah pihak melahirkan; Simbiosis mutualisme. Kerajaan Suud bisa leluasa dan Abdul Wahhab juga leluasa menyebarkan paham nya. Hal ini terus berlanjut, Murid-murid Abdul Wahhab sepeninggalnya lah yang melanjutkannya, dan disisi lain, Kerajaan Suud, 1924 mendeklarasikan kemerdekaan (dari Inggris) untuk menjadi kerajaan Saudi Arabia (KSA) dan Ulama-ulama (Murid atau pengikut Abdul Wahhab) tetap menjadi partner dalam menjalankan roda pemerintahan. Akhirnya Semua berubah ketika minyak ditemukan. Sebagaimana yang sudah saya bahas pada tulisan sebelumnya.
Wallahu alam..