MENANAMKAN SIKAP INKLUSIF MELALUI MODERASI BERAGAMA DI MADRASAH IBTIDAIYAH Anisa Aurellia Kurniawan

MENANAMKAN SIKAP INKLUSIF MELALUI MODERASI BERAGAMA DI MADRASAH IBTIDAIYAH

Anisa Aurellia Kurniawan

Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Falah

 

Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan pelaksanaan ajaran agama, baik berupa peribadahan, aturan, dan keyakinan. Moderasi beragama mempunyai prinsip seimbang dan adil yang berguna untuk kepentingan umum. Dengan adanya moderasi beragama seseorang tidak akan berlebihan saat melakukan ajaran agamanya serta menjauhkan dirinya dari sikap ekstrem. Dalam lingkungan Pendidikan, khususnya di madrasah ibtidaiyah (MI), moderasi beragama merupakan landasan utama dalam pembentukan karakter siswa yang inklusif. Sikap inklusif berarti pendekatan atau sikap yang mengajak seseorang untuk mengikut sertakan tanpa membeda-bedakan. Inklusif juga bisa diartikan sebagai menghargai dan menerima perbedaan yang ada di antara kelompok atau individu. Inklusif bisa digunakan dalam berbagai bidang, yaitu di dalam dunia kerja, Pendidikan, dan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia pendidikan inklusif yaitu seperti pendekatan pendidikan yang menggabungkan semua siswa dengan siswa yang berkebutuhan khusus ke dalam satu kelas, yang bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa untuk berkembang dan belajar. Jadi sikap inklusif juga bisa diartikan sebagai penerimaan perbedaan dalam aspek sosial, budaya, dan agama. Dengan menanamkan sikap inklusif moderasi beragama di madrasah ibtidaiyah dapat menjadikannya wadah untuk menanamkan nilai inklusivitas pada anak di usia dini.

Konsepsi moderasi beragama dalam pendidikan madrasah ibtidaiyah bertujuan untuk penanaman toleransi atas budaya dan keyakinan, membuat kerukunan sosial dalam kehidupan, menyimpulkan nilai kebangsaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Bhineka Tunggak Ika. Di madrasah ibtidaiyah moderasi beragama digunakan dengan pendekatan yang sesuai supaya dapat di gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat mudah umtuk dipahami. Cara penanaman sikap inklusif di madrasah ibtidaiyah yaitu: 1) Mengoptimalkan kurikulum moderasi beragama. Pemerintahan agama Republik Indonesia sudah mengembangkan kurikulum berdasarkan moderasi beragama. Yang mana strateginya yang dapat digunakan adalah menggambungkan nilai moderasi beragama dalam mepel PAI, Bahasa Indonesia, dan PPKN. Penyediaan materi pembelajaran yang mengajarkan toleransi dan kebaragaman. 2)  Penyesuain sikap inklusif dalam kegiatan sehari-hari. Pendidikan berdasarkan karakter moderasi beragama dapat digunakan dalam kegiatan sehari-hari seperti sapaan yang menyeluruh dan salam itu mencerminkan rasa hormat kepada orang lain, pekerjaan gotong royong yang mengaitkan seluruh siswa tanpa membeda-bedakan latar belakangp, pembudayaan budaya antri, bekerja sama, dan menghargai pendapat orang lain dalam belajar. 3)  Pembelajaran berbasis proyek yaitu, siswa disuruh melakukan kegiatan yang menghubungkan dengan nilai inklusif dan moderasi beragama.  Contohnya adalah pembutan poster tentang kebersamaan tanpa membeda-bedakan. 4) Peran guru sebagai suri tauladan tentang moderasi beragama. Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam penanaman sikap inklusif. Strategi yang digunakan adalah menjadikan contoh dalam bersikap menghormati dan adil, menjauhkan kegunaan bahasa dan ajaran yang ekslusif di dalam pengajaran agama, pembiasaan kerja sama atau kelompok. 5) Pengoptimalan peran orang tua dan Masyarakat. Madrasah ibtidaiyah perlu menggunakan peran orang tua dan Masyarakat di dalam penanaman nilai moderasi beragama. Contohnya seperti penyampaiannya informasi tentang pentingnya sikap inklusif dalam membimbing anak, bekerja sama dengan Masyarakat dan tokoh agama untuk memberi wawasan keagamaan dalam siswa, membentuk kelompok sekolah yang mengaitkan semua pihak.

Keberhasilan penanaman sikap inklusif di Madrasah Ibtidaiyah dapat diukur melalui beberapa cara. Diantaranya adalah: 1) Observasi perilaku siswa dalam interaksi sehari-hari untuk menilai tingkat toleransi, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan. 2) Survei atau kuesioner kepada siswa, guru, dan orang tua untuk mengevaluasi pemahaman dan penerapan nilai-nilai inklusif, dan 3) Menilai partisipasi siswa dalam kegiatan kolaboratif, seperti diskusi kelompok atau perayaan hari besar agama, untuk melihat kemampuan mereka bekerja sama dalam keragaman. Portopolio siswa yang berisi refleksi diri dan catatan perkembangan sikap juga dapat menjadi alat evaluasi. Selain itu, menanamkan sikap inklusif di Madrasah Ibtidaiyah menghadapi beberapa tantangan. Diantanya sebagai berikut: 1) Pengaruh lingkungan eksternal, seperti keluarga atau masyarakat, yang mungkin kurang terbuka terhadap perbedaan, dapat menimbulkan kebingungan atau konflik pada siswa. 2) Kurangnya pemahaman tentang moderasi beragama dari guru, siswa, atau orang tua dapat menghambat upaya ini. 3) Keterbatasan sumber daya, seperti bahan ajar yang tidak memadai atau pelatihan guru yang belum optimal, juga menjadi kendala.

Sehubung dengan itu, untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Sekolah dapat menyelenggarakan workshop atau sosialisasi tentang pentingnya sikap inklusif dan moderasi beragama. Guru juga perlu mendapatkan pelatihan berkala untuk meningkatkan kompetensi dalam mengajarkan nilai-nilai inklusif. Selain itu, menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga yang mendukung moderasi beragama dapat memperkaya sumber daya dan metode pembelajaran. Dengan upaya terpadu, Madrasah Ibtidaiyah dapat menjadi wadah pembentukan generasi yang toleran, inklusif, dan siap hidup dalam masyarakat yang beragam.

Penanaman sikap inklusif melalui moderasi beragama di Madrasah Ibtidaiyah memberikan dampak positif yang signifikan bagi perkembangan siswa dan lingkungan sekolah. Hal ini membentuk karakter siswa yang terbuka terhadap perbedaan, menghargai keragaman agama, budaya, dan latar belakang sosial. Siswa tidak hanya belajar toleransi, tetapi juga mengembangkan empati terhadap orang lain, yang menjadi fondasi penting bagi pembentukan pribadi yang menghargai pluralitas. Selain itu, penanaman nilai-nilai moderasi beragama sejak dini mengurangi potensi konflik yang muncul akibat perbedaan agama. Siswa diajarkan untuk menyikapi perbedaan dengan bijaksana dan damai, menciptakan generasi yang mampu hidup harmonis dalam masyarakat multikultural. Tidak hanya itu, penanaman sikap inklusif meningkatkan kesadaran akan persatuan dan kebangsaan dalam keberagaman. Siswa memahami bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mendorong tumbuhnya rasa cinta tanah air dan semangat menjaga keutuhan NKRI. Madrasah Ibtidaiyah pun menjadi lingkungan yang baik, harmonis, dan ramah bagi semua peserta didik. Suasana inklusif dan penuh kasih sayang membuat setiap siswa merasa diterima dan dihargai, mendukung proses belajar mengajar yang efektif dan menciptakan iklim sosial yang positif. Dengan demikian, penanaman sikap inklusif melalui moderasi beragama tidak hanya bermanfaat bagi siswa, tetapi juga berkontribusi besar dalam menciptakan masyarakat yang damai, toleran, dan harmonis di masa depan.

 

Kesimpulan

Penanaman sikap inklusif melalui moderaasi beragama di madrash ibtidaiyah sangatlah penting karena untuk pembentukannya generasi yang berkarakter yang mempunyai sikap menghormati, tidak membeda-bedakan, dan mampu hidup yang selaras dalam masyarakat yang beragam. Dengan cara yang tepat melewati pengoptimalan kurikulum, penyesuaian nilai-nilai moderasi, peran guru, orang tua, dan Masyarakat dapat menjadikan perwakilan perubahan dalam pembuatan lingkungan yang damai dan inklusif. Usaha yang ini tidak hanya berdampak kepada lingkungan sekolah saja tetapi juga dapat berpasitipasi membangun Masyarakat yang baik dan harmonis dimasa depan nanti.