REDENSIALISME DAN INFLASI PENDIDIKAN Oleh: Azwirman,S.Pd

Artikel Tokoh306 Views

KREDENSIALISME DAN INFLASI PENDIDIKAN

Oleh: Azwirman,S.Pd

 

 

Dalam dunia ekonomi dan bisnis, pemakaian istilah “Inflasi” adalah hal yang lumrah terjadi. Sebab, inflasi memang identik dengan ekonomi modern. Inflasi dalam ilmu ekonomi dapat diartikan suatu keadaan dimana nilai mata uang suatu Negara mengalami penurunan nilai dari waktu ke waktu. Nominalnya tidak bertambah akan tetapi nilainya tidak sama ketika dilakukan transaksi di waktu yang berbeda. Misalnya, dua puluh tahun yang lalu harga seekor sapi seharga dua juta rupiah, sekarang harga seekor sapi sudah ditakaran lima belas juta rupiah. Uang yang nominalnya sama ternyata nilainya sudah berbeda dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu.

Dulu uang dua juta rupiah bisa membeli seekor sapi, sekarang uang sejumlah itu hanya bisa untuk membeli seekor kambing. Sekarang, bagaimana kalau istilah inflasi (penurunan nilai) kita pakai di dunia pendidikan. Artinya, nilai atau kualitas pendidikan dulu dibandingkan dengan sekarang mengalami penurunan. Atau dengan kata lain, telah terjadi inflasi di dunia pendidikan.

Apa contohnya?

Dulu, di awal-awal kemerdekaan, seseorang yang mendapat gelar “Sarjana” bukanlah orang sembarangan. Tidak semua orang yang belajar di perguruan tinggi mendapat gelar kehormatan demikian. Soekarno, Hatta, Muhammad Yamin, dkk adalah orang-orang yang berhak mendapat gelar sarjana. Mereka memiliki kontribusi yang nyata dengan keilmuan yang mereka miliki. Tokoh-tokoh pergerakan dan para pejuang intelektual adalah mereka yang berhak mendapatkan gelar sarjana.

Kemudian gelar “Kyai”. Dulu seseorang yang bergelar kyai, disamping memiliki pemahaman agama yang sangat mendalam, juga adalah seorang pejuang dakwah dan punya kontribusi dalam membangun pendidikan di masyarakat. Mereka bukan saja mendirikan pesantren dan pusat pendidikan keislaman, namun juga dikenal oleh masyarakat luas karena punya peran penting dalam membangun dan mencerdaskan pendidikan agama kaum muslimin.

Kita mengenal Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Islam Muhamadiyah. Ada Kyai Haji Hasyim Asyari pendiri Nahdhatul Ulama (NU) kemudian ada Kyai Haji Wahid Hasyim, yang menjadi anggota BPUPKI atau panitia Sembilan dalam merumuskan Pancasila. Kalau di jawa gelar untuk Ulama adalah Kyai maka, di Minangkabau seorang tokoh sekaligus Ulama yang diakui keilmuannya diberi gelar “Buya” sebutlah semisal, Buya Hamka yang sangat terkenal itu, Buya Natsir yang mendirikan Dewan Dakwah Indonesia (DDI) dan lain sebagainya. Artinya, baik gelar Kyai maupun Buya zaman dulu tidaklah mudah begitu saja diberikan kepada sembarang orang, asa ka maagiah gala se (Sembarang memberi gelar saja) kata orang minangkabau.

Contoh lain, gelar “Haji” zaman dulu dengan sekarang juga berbeda. Dulu, gelar “Haji” bukan saja diberikan kepada orang yang telah pulang dari tanah suci dalam rangka menunaikan rukun islam kelima, melaksanakan ibadah haji ke tanah Suci Makkah, akan tetapi mereka juga belajar agama di sana paling cepat enam bulan dan bahkan bertahun-tahun belajar agama di Makkah dan baru mereka pulang ke kampungnya. Maka, orang seperti ini yang berhak mendapat gelar haji. Salah seorang yang telah melakukan hal ini dan mendapat gelar haji adalah, Haji Agus Salim.

Beliau lama bermukim di Makkah dan banyak belajar agama islam di sana. Disana pulalah beliau mendapatkan kesadaran untuk berjuang memerdekakan bangsanya, padahal beliau waktu itu dizaman Belanda adalah Pegawai Negeri (PNS) nya belanda yang bertugas di gedung konsulat jenderal Hindia Belanda di Jedah. Beliau juga sempat bertemu dengan Buya Hamka di Makkah. Beliau kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri menjadi Pegawai Belanda dan memilih jalan perjuangan dengan teman-temannya ketika pulang ke tanah air, padahal hidupnya sudah mapan.

Ada banyak gelar lain, yang dulu gelar itu tidak mudah dan sembarang orang mendapatkannya. Gelar-gelar itu didapat bukan saja dari jenjang akademik atau sekolah formal, akan tetapi juga didapat dari pengakuan dari masyarakat pada waktu itu.

Ada lagi misalnya, gelar “Syaikh” atau “Al Hafidz” diberikan kepada seseorang yang sangat alim, punya keilmuan yang sangat dalam dan luas terutama dalam soal ilmu agama. Mereka sudah layak dan berhak untuk berfatwa, berijtihad, mampu mengafal ratusan ribu hadits dalam kepalanya. Tidak saja hafal Alqur’an dan ratusan ribu hadits, namun juga menulis banyak buku yang menjadi rujukan ulama-ulama sesudahnya atau murid-muridnya. Artinya, semua gelar itu sudah terbukti dan teruji layak mereka sandang.

Siapa yang mengujinya? Siapa yang Membuktikannya?

Jawabanya tentu umat Islam dan masyarakat luas. Buktinya? Sampai sekarang nama-nama semisal, bung Karno, bung Hatta, bung Syahrir, Tan Malaka, haji Agus Salim, Buya Natsir, Buya Hamka, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim, Al Hafidz Ibnu Katsir seorang ulama ahli Hadits yang hafal Ratusan Ribu Hadits, sekaligus ahli Sejarah yang telah menulis banyak kitab sejarah, tafsir, dan lain sebagainya.

Atau Imam As suyuthi yang hafal dua ratus ribu Hadits di dalam kepalanya.

Bagaimana dengan sekarang?

Hari ini Sarjana, mulai dari Strata satu, Magister (S2) dan Doktor (S3) sudah sangat banyak, apalagi Strata satu mungkin untuk Indonesia sudah di angka jutaan. Sebab, ada lebih kurang empat ribu perguruan tinggi, baik swasta maupun Negeri yang terdaftar di kementerian pendidikan yang setiap tahun meluluskan ratusan ribu sarjana-sarjana Baru. Kalau istilah minang nya, “Manyarok” (banyak sekali) untuk menggambarkan sakingkan banyaknya sarjana di Indonesia.

Apakah dengan besarnya jumlah para sarjana itu memberikan dampak yang baik bagi kemajuan suatu masyarakat dan bangsa? Tunggu dulu. Yang jelas dengan jumlah sarjana sedemikian banyak kita juga miris dengan fenomena para Intelektual lulusan kampus formal akademik yang ketahuan melakukan plagiat dalam membuat suatu karya ilmiah. Atau sudah menjadi rahasia umum banyaknya “juragan skripsi, tesis dan disertasi” yang telah “membantu” ribuan sarjana meraih gelar kesarjanaannya. Atau kasus jual beli ijazah yang tidak sedikit kasusnya.

Lain lagi dengan seseorang yang apabila sudah punya pondok pesantren langsung melekat gelar “Kyai” di depan namanya. Soal pemahaman agama tidak usah ditanya. Sama halnya dengan gelar “pak haji” dan “Bu Hajjah” yang langsung melekat di depan nama seorang jamaah yang barusan datang dari Makkah setelah 40 hari kurang lebih disana melaksanakan ibadah haji.

Semua yang dipaparkan diatas adalah fenomena dari apa yang dijelaskan diawal, Inflasi Pendidikan. Nilai-nilai dari pendidikan dan ilmu yang makin lama makin merosot nilainya, persis seperti uang Rupiah yang dua puluh lima tahun yang lalu, lima puluh rupiah sudah dapat lontong sayur satu piring dan sekarang lontong sayur tidak kurang dari kisaran lima ribu hingga lima belas ribu rupiah sepiring.

Kalau dulu, seorang Sarjana begitu tinggi nilainya, bukan karena ia kaya atau terpandang, akan tetapi kedalaman ilmunya dan keahliannya yang sangat diandalkan dan dibutuhkan oleh masyarakat dan pemerintah.

Kalau dulu tamatan PGA, SPG, SGO yang setingkat Sekolah menengah atas, sudah bisa mengajar di sekolah-sekolah. Sekarang untuk mengajar Sekolah dasar saja, harus tamatan Strata satu (S1)
Itu baru kita berbicara tentang Sarjana, bagaimana dengan gelar “professor” sebuah gelar penghargaan tertinggi di dunia akademik?
Silahkan pembaca menilai sendiri, terutama yang sehari-hari beraktivitas di kampus perguruan tinggi yang rata-rata memiliki “guru besar” atau Professor.

Professor atau Doktor bagi saya sebuah penghargaan yang tertinggi sekaligus beban berat yang dipikul dipundak mereka. Beban berat itu bernama “produktivitas akademik” dan “pengabdian” tanpa henti terhadap masyarakat dan bangsa. Mereka adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas makin merosotnya kualitas SDM disebuah bangsa. Mereka harus prihatin dengan makin lunturnya bahkan hilang, nilai nilai keilmuan di masyarakat.

Masyarakat yang makin apatis, debat-debat kusir yang makin tidak berkualitas, penyelesaian masalah yang makin tidak menyelesaikan masalah, sentiment kelompok yang makin meruncing, tafsir-tafsir hukum, istilah-istilah yang makin serampangan, orang yang tidak berilmu makin banyak bicara tentang ilmu, kerusakan moral dan akhlak serta ilmu itu sendiri. Ini adalah pekerjaan besar yang ada di pundak para sarjana, ilmuan, professor dan doctor.

Namun, sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas. Kita sebenarnya tidak kekurangan orang orang yang bergelar Sarjana, professor, Kyai haji, syaikh, Ustadz atau apalah namanya. Jumlah mereka dari hari-ke hari makin signifikan, namun semuanya telah terjadi Inflasi. Penurunan nilai dan kualitas. Celakanya, tidak ada yang beri’tikad baik untuk segera menghentikannya.

Apa penyebabnya?

Pada tahun 1979, seorang yang bernama Rendal Collin menulis buku yang berjudul, “Credensial Society a Historical Sociology of Education and Stratification” yang intinya Ia mengkritik fenomena di Negara berkembang (termasuk Indonesia) dimana masyarakatnya haus akan gelar, ijazah, sertifikat, piagam penghargaan, dan sederet hal-hal yang bersifat materi lainnya dalam hal kehausan akan pengakuan. Bahasa kasarnya, penyakit ijazah.

Karena telah berlangsung lama maka akan terbentuk sebuah pola pikir dan dogma yang disebut dengan “kredensialisme” yang memiliki makna sebuah orientasi yang terlalu berlebihan pada legal formal melampaui substansi dari yang sebenarnya ingin dicapai oleh prosedur legal formal tersebut.

Secara bahasa “Kredensial” itu artinya, Sertifikat Kompetensi/ Ijazah. Ijazah sebenarnya dalam tradisi gelar keilmuan sudah diperkenalkan oleh islam. Sama halnya dengan pakaian (jubah) ketika wisuda dan toga yang pada awalnya berbentuk sorban adalah tradisi yang sudah dilakukan selama ratusan tahun dalam khazanah intelektual islam.

Syaikh, Mujtahid, ‘allamah, yang kemudian diadopsi menjadi Professor, doctor dan lain sebagainya.

Sementara di Barat, pengakuan otoritas keilmuan bagi orang-orang terdidik dikenal dengan istilah Schoolars (kelompom sarjana) yang mengadopsi konsep Ijma’ atau konsensus.

Pemberian gelar akademik akademik kepada pelajar dikenal dengan Licence di barat dan ijazah di dalam islam.

Terakhir, Universitas itu diadopsi dari islam yang dikenal dengan Kulliyah (keseluruhan) yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah, Universal, Universitas.

Hanya saja, gelar, ijazah, sertifikat atau penghargaan akademik lainnya hakikatnya bukanlah tujuan utama bagi seorang penuntut ilmu. Ijazah hanyalah efek samping atau bonus dari yang memberikan penghargaan itu, hanya sekedar itu.

Namun, sejak gelar akademik itu sudah menjadi barang mewah dan sacral, akhirnya banyak yang terjebak pada Kredensialisme tadi. Semacam penyakit ujub, membanggakan diri dengan selembar ijazah, sertifikat atau gelar yang melekat pada nama. Sehingga lupa akan substansi dari gelar itu. Padahal gelar adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat.

Saya punya pengalaman dulu, seorang pimpinan sebuah instansi ketika mau menandatangani sebuah surat, kebetulan juru ketik lupa membuat gelar akademiknya, langsung dengan muka merah padam pimpinan tadi marah sambil berteriak, “bersusah payah saya mencari gelar itu kamu malah meremehkan dan menyepelekannya”, padahal kan tinggal dirubah saja suratnya dan di ulang print. Akan tetapi karena si pimpinan sudah terkena penyakit Ijazahisme (Kredensialisme) membuat ia gelap mata, ada-ada saja.

Semoga kita tidak terjangkiti penyakit Ijazahisme yang sama bahayanya dengan penyakit Sekolahisme, yang menganggap orang yang tidak sekolah itu bodoh dan yang pintar adalah yang sekolah dan dapat ijazah, artinya secara tidak langsung, sadar atau tidak, mereka melecehkan Rasulullah saw dan para sahabat yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah.

Wallahualam bishowab…

Leave a Reply