INTOLERANSI BY ACCIDENT DI KOTA PADANG (KASUS PADANG SARAI 27 JULI 2027)
Oleh:
Duski Samad
Ketua FKUB Sumatera Barat
1.Pendahuluan
Isu intoleransi di Indonesia tidak selalu muncul karena faktor kesengajaan (by design), melainkan juga dapat terjadi akibat kesalah pahaman, miskomunikasi, atau kelalaian administratif (by accident). Kasus Padang Sarai, Kota Padang pada 27 Juli 2027 menjadi contoh nyata bagaimana masalah teknis berubah menjadi isu keagamaan yang sensitif.
2.Kronologi Kejadian
Awalnya rumah tinggal. Sebuah bangunan di kawasan Padang Sarai difungsikan sebagai tempat tinggal keluarga non-Muslim.
Perubahan fungsi menjadi rumah doa.
Untuk meringankan biaya listrik PLN, rumah tersebut didaftarkan sebagai Rumah Doa (gereja kecil). Hal ini dilakukan tanpa prosedur perizinan resmi sesuai aturan pendirian rumah ibadah.
25 Juli 2025 Kedatangan PLN.
Petugas PLN menanyakan status bangunan saat mengecek administrasi pelanggan. Informasi bahwa bangunan terdaftar sebagai gereja kemudian menyebar ke masyarakat.
27 Juli 2027 – Muncul kasus sosial. Warga sekitar mempertanyakan legalitas dan izin rumah doa tersebut. Persoalan administratif berubah menjadi isu intoleransi karena tidak ada komunikasi sebelumnya antara pemilik rumah dan masyarakat sekitar.
3.Akar Masalah
Administratif:
Perubahan fungsi rumah tanpa mengikuti prosedur SKB 2 Menteri 2006.
Komunikasi: tidak adanya sosialisasi atau dialog dengan masyarakat sekitar.
Ekonomi: alasan “biaya listrik PLN lebih murah” menimbulkan persepsi manipulasi.
Sosial: mayoritas warga Muslim menilai ada “penyelundupan fungsi” rumah tinggal menjadi gereja.
4.Respon yang Muncul
Warga: muncul keresahan dan protes sosial, meski masih terkendali.
Tokoh masyarakat dan FKUB: segera melakukan mediasi, menekankan bahwa persoalan utama adalah izin dan komunikasi, bukan konflik agama.
Pemerintah Kota: mengingatkan pentingnya mematuhi aturan SKB 2 Menteri serta mendukung penyelesaian damai melalui dialog.
5.Analisis By Accident
Kasus Padang Sarai termasuk intoleransi by accident, bukan by design.
By Accident: dipicu oleh persoalan teknis (izin, listrik, administrasi) yang berkembang menjadi isu agama karena miskomunikasi.
Bukan By Design: tidak ada indikasi rekayasa politik, provokasi sistematis, atau agenda ideologis tertentu.
6.Pelajaran Penting
Kepatuhan terhadap regulasi – SKB 2 Menteri harus dijadikan rujukan utama agar setiap rumah ibadah memiliki legitimasi hukum dan sosial.
Komunikasi terbuka – perubahan fungsi rumah menjadi rumah ibadah wajib disosialisasikan kepada masyarakat sekitar.
Mediasi dini, kehadiran FKUB dan tokoh agama sejak awal sangat penting untuk meredam potensi konflik.
Pembangunan kepercayaan – toleransi tumbuh dari keterbukaan, kejujuran, dan penghormatan terhadap aturan bersama.
7.Hukum dan Akademik
UUD 1945 Pasal 28E ayat (1–2).
Menjamin setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Namun pada ayat (2) ditegaskan bahwa kebebasan ini dilaksanakan dengan memperhatikan batasan hukum, moral, keamanan, dan ketertiban umum. Artinya, kebebasan beribadah tidak absolut, tetapi harus melalui aturan negara.
UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Jaminan ini menjadi dasar bahwa rumah ibadah sah selama memenuhi ketentuan hukum.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 22.
Menegaskan hak setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan, namun tetap tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang demi ketertiban umum.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 (SKB 2 Menteri).
Pasal 14–17: mengatur syarat mendirikan rumah ibadah, seperti daftar nama pengguna, dukungan masyarakat sekitar, rekomendasi FKUB, dan izin tertulis dari pemerintah daerah.
Tujuannya: menjaga keseimbangan antara hak beribadah dan harmoni sosial di tengah masyarakat majemuk.
Fatwa MUI (2005) tentang Kerukunan Umat Beragama.
MUI menegaskan pentingnya menjunjung kerukunan dengan menghindari pendirian rumah ibadah tanpa izin resmi yang sah, karena hal itu rawan menimbulkan keresahan sosial.
Perspektif Sosiologis.
Menurut Azyumardi Azra, akar konflik agama di Indonesia seringkali bukan karena doktrin agama, melainkan faktor sosial-ekonomi dan politik lokal yang tidak dikelola dengan baik. Kasus Padang Sarai selaras dengan pandangan ini: problem administratif berubah menjadi isu agama karena miskomunikasi.
Konklusi
Kasus Padang Sarai 27 Juli 2027 adalah cermin bahwa kerukunan umat beragama tidak cukup dijaga hanya dengan semangat toleransi, tetapi juga dengan ketaatan hukum, keteraturan administratif, dan komunikasi sosial yang sehat.
Secara konstitusional, setiap warga dijamin kebebasan beragama dan beribadah (UUD 1945 dan UU HAM).
Namun, secara regulatif, setiap pendirian rumah ibadah harus mengikuti prosedur (SKB 2 Menteri 2006).
Ketidakpatuhan terhadap aturan dan absennya komunikasi memicu “intoleransi by accident” yang seharusnya dapat dicegah.
Peran FKUB, tokoh agama, dan pemerintah daerah sangat vital sebagai penjaga harmoni dan mediator cepat sebelum isu melebar.
Kasus ini bukan bukti bahwa Sumatera Barat intoleran, tetapi pelajaran penting bahwa toleransi harus dikelola dengan regulasi, komunikasi, dan edukasi yang konsisten. DS. 28082025.