ISLAM DAN INDONESIA: ANTARA KONSEP DINIYAH, DAULAH DAN REALITAS KEBANGSAAN Oleh: Duski Samad

Artikel Tokoh197 Views

ISLAM DAN INDONESIA: ANTARA KONSEP DINIYAH, DAULAH DAN REALITAS KEBANGSAAN

Oleh: Duski Samad
Pengasuh Mata Kuliah Islam, Keindonesiaan dan Kabangsaan, Program Doktor Kajian Islam Pascasarjana UIN Imam Bonjol.

 

Dskursus hubungan Islam dengan keindonesiaan dan kebangsaan dapat dipahami melalui nilai-nilai Islam yang sejalan dengan konsep kebangsaan Indonesia. Islam sebagai agama yang universal memberikan prinsip-prinsip kehidupan yang dapat diterapkan dalam negara dengan keberagaman seperti Indonesia. Berikut adalah beberapa prinsip utama dalam hubungan Islam dan kebangsaan:

1.Tauhid sebagai Dasar Moralitas.Prinsip tauhid (keesaan Allah) dalam Islam mengajarkan bahwa segala aspek kehidupan, termasuk dalam berbangsa dan bernegara, harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan. Dalam konteks Indonesia, ini tercermin dalam Pancasila sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), yang menunjukkan bahwa kehidupan bernegara harus memiliki dasar moral dan etika yang kuat. Dalilnya antara lain;
“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah…” (QS. Ali Imran: 64).
Tauhid dalam kebangsaan berarti menempatkan nilai-nilai ketuhanan sebagai pedoman dalam kehidupan bernegara, tanpa memaksakan bentuk negara Islam tertentu.

2.Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah, dan Basyariyah (Persaudaraan Islam, Kebangsaan, dan Kemanusiaan)

Islam mengajarkan ukhuwah (persaudaraan) dalam berbagai dimensi: Ukhuwah Islamiyah. Persaudaraan sesama Muslim. Ukhuwah Wathaniyah. Persaudaraan sebangsa dan setanah air. Ukhuwah Basyariyah/Insaniyah. Persaudaraan sesama manusia tanpa melihat agama dan suku.

Dalam konteks keindonesiaan, ukhuwah wathaniyah menegaskan bahwa umat Islam harus menjaga persatuan bangsa, tidak hanya sesama Muslim, tetapi juga dengan non-Muslim. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…” (QS. Al-Hujurat: 13).
Nilai toleransi dan keberagaman dalam Islam ini sejalan dengan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Indonesia.

3.Islam dan Nasionalisme Tidak Bertentangan.
Beberapa pemikir Islam, seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), menegaskan bahwa cinta tanah air (hubbul wathan) adalah bagian dari iman.
Nasionalisme dalam Islam bukan berarti menolak Islam global, tetapi menjaga tanah air sebagai bagian dari amanah Allah.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad ﷺ sendiri menunjukkan kecintaan kepada tanah airnya, Makkah dan Madinah.
Fatwa Resolusi Jihad NU (1945) menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban agama.

Nasionalisme Islam di Indonesia lebih bersifat inklusif, bukan eksklusif atau ekstrem. Islam tidak harus diwujudkan dalam bentuk negara Islam, tetapi bisa menjadi inspirasi dalam membangun keadilan dan kesejahteraan dalam negara.

4.Pancasila sebagai Kesepakatan Bersama (Darul Mitsaq). Konsep “Darul Mitsaq” (Negara Kesepakatan) dalam Islam menunjukkan bahwa Indonesia adalah hasil konsensus bersama antara umat Islam dan elemen bangsa lainnya. Pancasila bukan ideologi sekuler, tetapi tetap menghormati nilai-nilai agama.

Ulama besar seperti KH. Wahid Hasyim dan Mohammad Natsir turut merumuskan Pancasila agar tetap sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam Islam, kesepakatan atau akad (mitsaq) adalah sesuatu yang harus dijaga. Oleh karena itu, umat Islam wajib mempertahankan NKRI sebagai bentuk tanggung jawab moral dan keagamaan. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian).” (QS. Al-Maidah: 1).

5.Negara Indonesia sebagai Darul Sulh (Negara Damai).
Dalam fiqh politik Islam, ada beberapa kategori negara:
1.Darul Islam (Negara Islam dengan hukum syariah).
2.Darul Harb (Negara musuh Islam).
3.Darul Sulh/Darul Ahdi (Negara perjanjian/damai). .Indonesia sebagai Darul Sulh (negara damai) yang memungkinkan umat Islam berkembang tanpa diskriminasi. Dengan prinsip ini, umat Islam bisa menjadi penjaga NKRI tanpa harus mengorbankan nilai-nilai Islam. Islam harus menjadi rahmat bagi bangsa dan negara, bukan sumber perpecahan.

Islam dan keindonesiaan bukan sesuatu yang bertentangan, justru saling melengkapi. Prinsip utama hubungan Islam dan kebangsaan adalah:
1.Tauhid sebagai dasar moral kehidupan berbangsa (sejalan dengan sila pertama Pancasila).
2.Persaudaraan Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan sebagai fondasi menjaga keberagaman.
3.Nasionalisme dalam Islam adalah bagian dari iman dan tidak bertentangan dengan Islam global.
4.Pancasila sebagai kesepakatan bersama (Darul Mitsaq) yang harus dijaga.

PEMIKIR ISLAM AL-DAULAH, KHALIFAH DAN DINIYAH
A. Abul A’la Al-Maududi.
Abul A’la Al-Maududi (1903–1979) adalah seorang pemikir Islam, teolog, dan pendiri Jamaat-e-Islami di Pakistan. Ia memiliki pandangan yang khas mengenai hubungan antara Islam, negara (al-daulah), kekhalifahan (khilafah), dan agama (diniyah). Berikut adalah analisisnya.
1.Islam dan Negara (al-Daulah). Menurut Al-Maududi, Islam adalah sistem yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk politik dan pemerintahan. Ia menolak pemisahan antara agama dan negara, karena dalam pandangannya, Islam bukan hanya agama spiritual tetapi juga sebuah sistem hukum dan pemerintahan.

Beberapa prinsip penting menurutnya adalah Negara Islam harus didasarkan pada hukum syariah, bukan sekularisme atau demokrasi liberal. Pemerintahan adalah amanah (trust) dari Allah dan pemimpin harus menjalankan hukum Allah. Kedaulatan hanya milik Allah (Hakimiyyah Ilahiyyah), sedangkan manusia hanya memiliki kekuasaan sebagai wakil-Nya di bumi. Konsep “Teo-demokrasi” negara Islam bukan teokrasi di mana ulama berkuasa absolut, tetapi juga bukan demokrasi sekuler. Ia menawarkan konsep “teo-demokrasi,” yaitu demokrasi dengan batasan syariah.

2.Konsep Kekhalifahan (al-Khilafah). Al-Maududi menekankan bahwa kekhalifahan bukan hanya sistem pemerintahan dengan seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi, tetapi lebih kepada sistem politik di mana seluruh umat Islam adalah khalifah Allah di bumi. Beberapa poin utamanya setiap muslim adalah khalifah dalam menjalankan hukum Allah, bukan hanya seorang pemimpin tertentu. Khilafah tidak identik dengan monarki atau kediktatoran, tetapi lebih kepada sistem pemerintahan berdasarkan syura (musyawarah). Khilafah harus berbasis syariah dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Pemimpin (amir atau khalifah) harus dipilih berdasarkan kualitas iman, ilmu, dan ketakwaan, bukan berdasarkan keturunan atau kekuasaan politik semata.

3.Konsep Agama (Diniyah) dalam Islam. Menurut Al-Maududi, agama (diniyah) dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah ritual seperti shalat, puasa, dan zakat, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi, hukum, dan politik. Ia menekankan bahwa Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh (nizamul hayat), bukan hanya aspek spiritual. Syariah adalah hukum yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Memisahkan agama dari kehidupan publik adalah bentuk sekularisme yang bertentangan dengan Islam.

Al-Maududi berpendapat bahwa Islam adalah agama yang harus membentuk dasar bagi negara dan sistem pemerintahan. Khilafah adalah sistem politik yang ideal menurutnya, di mana umat Islam memerintah berdasarkan syariah dan sebagai wakil Allah di bumi. Konsep diniyah menurutnya tidak hanya mencakup ibadah tetapi juga hukum dan politik. Oleh karena itu, ia menolak sekularisme dan mendukung berdirinya negara Islam yang menerapkan hukum Allah secara menyeluruh.

B. Hasan Al-Bana.
Hasan Al-Banna (1906–1949) adalah pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir dan seorang pemikir Islam yang berpengaruh. Ia menekankan bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang mencakup agama (diniyah), negara (daulah), dan kepemimpinan (khilafah). Berikut adalah pandangannya:

1.Islam dan Negara (al-Daulah). Hasan Al-Banna menolak pemisahan antara agama dan negara (sekularisme). Ia berpendapat bahwa Islam bukan hanya agama spiritual tetapi juga mencakup sistem pemerintahan, hukum, dan sosial. Beberapa prinsip utamanya Islam adalah sistem komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Negara harus menerapkan syariah sebagai dasar hukum dan kebijakan. Pemerintahan Islam harus berbasis pada moralitas Islam, bukan sekadar kepentingan politik. Muslim harus aktif dalam politik untuk memastikan negara berjalan sesuai dengan prinsip Islam.

2.Konsep Kekhalifahan (al-Khilafah). Hasan Al-Banna menganggap khilafah sebagai simbol persatuan umat Islam. Namun, ia tidak menekankan kembalinya sistem khilafah tradisional dengan satu khalifah global, melainkan memperkuat negara-negara Islam terlebih dahulu dengan menerapkan syariah. Mempersatukan dunia Islam dalam solidaritas politik dan ekonomi, meskipun tidak harus dalam bentuk satu negara besar. Membangun kembali semangat khilafah melalui kerja sama antara negara-negara Muslim. Ia tidak menolak konsep demokrasi sepenuhnya, tetapi menekankan bahwa demokrasi dalam Islam harus memiliki batasan syariah.

3.Konsep Agama (Diniyah) dalam Islam. Bagi Hasan Al-Banna, Islam bukan hanya ritual ibadah, tetapi juga sistem hidup yang mengatur seluruh aspek masyarakat. Ia menekankan Tauhid sebagai dasar kehidupan Muslim tidak ada pemisahan antara ibadah dan kehidupan sosial. Pentingnya pendidikan Islam untuk membentuk individu Muslim yang taat dan berakhlak. Dakwah sebagai alat perubahan sosial dan politik – Ikhwanul Muslimin menekankan dakwah sebagai metode utama dalam membangun masyarakat Islam.

Hasan Al-Banna melihat Islam sebagai sistem yang menyeluruh (syumuliyyat al-Islam) yang mencakup aspek politik, sosial, dan ekonomi. Ia tidak terlalu menekankan pembentukan kembali khilafah dalam bentuk tradisional, tetapi lebih kepada penguatan negara-negara Islam dan persatuan umat. Konsepnya tentang negara Islam lebih moderat dibandingkan pemikir seperti Al-Maududi, tetapi tetap menolak sekularisme dan menganggap penerapan syariah sebagai kewajiban utama negara.

Pemikirannya menjadi dasar bagi banyak gerakan Islam modern, termasuk Ikhwanul Muslimin yang masih berpengaruh hingga kini. Pendapatnya sangat berpengaruh dalam gerakan Islam politik modern, termasuk di Pakistan dan dunia Muslim secara umum. Namun, gagasannya juga mendapat kritik karena dianggap tidak realistis dalam konteks politik modern.

C. ABDUR RAZIQ
Abdul Razik (1888–1966) adalah seorang pemikir Muslim asal Mesir yang dikenal karena gagasannya yang kontroversial mengenai hubungan antara Islam dan politik. Dalam bukunya “Al-Islam wa Usul al-Hukm” (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan), ia mengajukan pandangan bahwa Islam bukanlah sistem politik, melainkan agama spiritual yang tidak mengharuskan pemerintahan tertentu seperti khilafah. Berikut adalah analisisnya mengenai Islam, negara (daulah), kekhalifahan (khilafah), dan agama (diniyah):

1.Islam dan Negara (al-Daulah). Abdul Razik menolak gagasan bahwa Islam adalah sistem pemerintahan. Ia berpendapat bahwa Islam hanya mengatur aspek moral dan spiritual, sementara urusan politik dan pemerintahan sepenuhnya berada dalam ranah ijtihad manusia. Tidak ada dalil dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang secara eksplisit menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, sehingga umat Islam bebas memilih sistem politik yang sesuai dengan konteks zamannya.

2.Konsep Kekhalifahan (al-Khilafah). Abdul Razik berpendapat bahwa khilafah bukan bagian dari ajaran Islam, tetapi hanya sistem politik yang berkembang secara historis setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Menurutnya, khilafah lebih merupakan warisan tradisi politik Arab, bukan institusi agama yang diwajibkan. Pembubaran Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 oleh Mustafa Kemal Atatürk tidak bertentangan dengan Islam, karena Islam tetap bisa dijalankan tanpa sistem khilafah. Ia mengkritik konsep teokrasi dalam Islam, menolak klaim bahwa pemimpin politik memiliki otoritas keagamaan.

3.Islam sebagai Agama (Diniyah). Abdul Razik menegaskan bahwa Islam adalah agama spiritual yang tidak memiliki sistem pemerintahan baku. Nabi Muhammad ﷺ, dalam pandangannya, bukanlah seorang raja atau pemimpin politik dalam arti negara modern, tetapi lebih sebagai pembimbing moral dan rohani. Setelah wafatnya Nabi, umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Pandangan Abdul Razik sangat berbeda dari pemikir Islam lainnya seperti Al-Maududi atau Hasan Al-Banna. Ia menegaskan bahwa Islam tidak menetapkan sistem politik tertentu, termasuk khilafah, dan bahwa pemerintahan bersifat duniawi dan bisa berubah sesuai kebutuhan zaman. Pemikirannya sering dianggap sebagai dasar bagi sekularisme dalam dunia Islam, meskipun ia tetap meyakini bahwa Islam memiliki peran moral dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pandangannya menimbulkan kontroversi di dunia Islam dan mendapat banyak kritik dari ulama tradisional, tetapi juga menjadi inspirasi bagi pemikiran Islam modern yang lebih mendukung negara nasional dan demokrasi sekuler.

ANALISIS KRITIS
Analisi kritis terhadap wacana Islam, negara (daulah), kekhalifahan (khilafah), dan agama (diniyah) berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, pendapat ulama, dan pemikiran akademisi dalam menanggapi tiga pemikir: Abul A’la Al-Maududi, Hasan Al-Banna, dan Abdur Razik. Dapat diberikan sebagai berikut:

1. Analisis Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
Islam tidak secara eksplisit menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, tetapi ada prinsip-prinsip dasar dalam politik Islam yang bisa menjadi acuan:
a. Al-Qur’an tentang Kekuasaan dan Pemerintahan, prinsip Syura (Musyawarah) “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…” (QS. Asy-Syura: 38). Ini menunjukkan bahwa pemerintahan dalam Islam harus didasarkan pada prinsip musyawarah, bukan otokrasi atau diktator.
Keadilan dalam Pemerintahan “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58).

Ayat ini menegaskan bahwa pemimpin harus menjalankan keadilan dalam pemerintahan, bukan berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Kepatuhan kepada Pemerintah yang Adil “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa: 59).
Ulil Amri di sini bisa merujuk pada pemimpin politik atau pemerintahan yang sah selama mereka tidak bertentangan dengan syariat Islam.

b. Hadis tentang Pemerintahan dan Khilafah.
Khilafah sebagai Sistem Awal Islam Rasulullah ﷺ bersabda “Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan oleh nabi lainnya. Namun, tidak ada nabi setelahku, yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa setelah Nabi Muhammad ﷺ, kepemimpinan dalam Islam bukan bersifat kenabian, melainkan dalam bentuk khilafah. Peringatan terhadap Kesewenang-wenangan Pemimpin “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian… dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian.” (HR. Muslim). Ini menekankan bahwa pemimpin harus memiliki legitimasi dari rakyat dan tidak boleh bersikap otoriter.

2.Analisis Berdasarkan Pendapat Ulama.
Para ulama memiliki pandangan berbeda terkait Islam dan pemerintahan a. Pendukung Negara Islam dan Khilafah. Imam Al-Mawardi (w. 1058 M) dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah menegaskan bahwa kepemimpinan Islam wajib ada untuk menjaga hukum syariat dan menerapkan keadilan. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa pemerintahan Islam harus memastikan syariat ditegakkan dan tidak boleh menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin yang tidak menjalankan hukum Allah.

b. Pendukung Fleksibilitas Pemerintahan.
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa esensi pemerintahan dalam Islam adalah keadilan, bukan bentuknya. Artinya, pemerintahan bisa berbentuk kerajaan, republik, atau demokrasi selama menerapkan prinsip Islam. Muhammad Abduh (reformis Islam dari Mesir) menolak gagasan bahwa khilafah adalah sistem baku dalam Islam dan berpendapat bahwa Islam hanya memberi prinsip moral bagi pemerintahan.

3.Analisis Berdasarkan Pemikiran Akademisi.
Beberapa akademisi dan sejarawan modern menilai bahwa Islam memang tidak menentukan bentuk pemerintahan tertentu, tetapi memberikan nilai-nilai dasar yang harus dijunjung oleh sebuah negara. a. Pendukung Negara Islam. Olivier Roy dalam The Failure of Political Islam mengkritik konsep “Negara Islam” yang diusung oleh Maududi dan Hasan Al-Banna karena sulit diterapkan di era modern. Tariq Ramadan menekankan bahwa negara Islam harus berkembang secara demokratis, bukan dengan pemaksaan.
b. Pendukung Sekularisme dalam Islam. Noah Feldman dalam bukunya The Fall and Rise of the Islamic State menyatakan bahwa Islam memberikan prinsip hukum dan keadilan, tetapi tidak mewajibkan negara berbasis agama. John L. Esposito menilai bahwa Islam dapat berkembang dalam sistem demokrasi, sebagaimana yang terlihat di Turki dan Malaysia.

Kesimpulan
1.Islam tidak menentukan bentuk negara tertentu, tetapi memberikan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, musyawarah, dan penegakan hukum Allah.

2.Khilafah bukan satu-satunya sistem pemerintahan Islam. Sejumlah ulama dan akademisi mendukung gagasan bahwa negara bisa berbentuk lain selama menerapkan prinsip-prinsip Islam.

3.Abul A’la Al-Maududi dan Hasan Al-Banna lebih cenderung mendukung Negara Islam, sementara Abdur Razik lebih sekuler dengan menolak khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam.

4.Al-Qur’an dan Hadis tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan Islam, tetapi lebih menekankan prinsip keadilan, musyawarah, dan kepemimpinan yang amanah.
Jadi, dalam konteks Islam, negara, dan kepemimpinan, yang lebih penting bukanlah bentuk pemerintahan, tetapi bagaimana pemerintah menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara.DS. Islam Keindonesian dan Kebangsaan09032025.